KAWIN KONTRAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA

oleh : Muhammad Arief Nasyrah

Internship Advokat Konstitusi

Perkawinan merupakan salah satu bagian terpenting dari siklus kehidupan manusia, dimana dua orang dari jenis kelamin yang berbeda dipertemukan dengan syarat dan hukum-hukum yang berlaku untuk satu tujuan yang sama, yakni membentuk sebuah keluarga dalam jangka waktu yang tidak terbatas dan berlaku seumur hidup. Perkawinan di latar belakangi adanya perasaan saling mencintai satu sama lain, rasa cinta inilah yang kemudian mendorong seseorang untuk berkomitmen menuju mahligai kehidupan rumah tangga.

Di Indonesia sendiri ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundangan negara yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia. Aturan perkawinan yang dimaksud adalah dalam bentuk Undang-undang yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Namun demikian, meskipun telah ada peraturan mengenai hukum dan syarat melakukan perkawinan baik secara agama maupun pemerintahan, masih saja ada individu yang melakukan perkawinan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Salah satu bentuk perkawinan yang tidak sesuai dengan syarat dan hukum yang berlaku adalah kawin kontrak. Kawin kontrak memiliki pengertian “kenikmatan dan kesenangan”, jadi tujuan dari perkawinan tersebut hanya untuk memperoleh kesenangan seksual.

Lalu Bagaimana Persoalan Kawin Kontrak Ini Diatur Di Indonesia?

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 1 menyebutkan “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Aturan Undang-undang ini menegaskan bahwa perkawinan itu bukanlah bersifat sementara tetapi untuk selamanya yang tujuan akhirnya adalah membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Sementara kawin kontrak itu hanya untuk mendapatkan kesenangan yang bersifat sementara atau sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati oleh para pihak (suami dan istri) yang berarti bertentangan dengan prinsip pernikahan dalam Undang-undang tersebut. 

Selanjutnya di dalam Undang-Undang Perkawinan terdapat ketentuan yang mengharuskan untuk mencatatkan suatu perkawinan yang dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan. Hal tersebut diatur di dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yakni: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedangkan dalam hal kawin kontrak itu tidak sesuai dengan peraturan Undang-undang perkawinan pasal 1 dimana dalam pasal tersebut dikatakan bahwa “tujuan pernikahan untuk membentuk keluarga kekal dan bahagia” sementara kawin kontrak itu memakai batas waktu. Sehingga kawin kontrak tersebut tidak bisa dicatatkan. Sejalan dengan hal tersebut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 6 ayat (1) menyebutkan “Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak  melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang. 

Kemudian akibat dari kawin kontrak terdapat dalam Pasal 42 UU Perkawinan disebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Sedangkan dalam hal kawin kontrak itu merupakan perkawinan yang tidak sah dan tidak bisa dicatatkan dimana anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah tersebut tidak dapat menuntut apa-apa dari Ayahnya. Dia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Maka dengan adanya undang-undang yang membahas mengenai kawin kontrak ini dapat disimpulkan bahwa kawin kontrak adalah sesuatu yang dilarang di Indonesia, karena kawin kontrak tidak sesuai dengan tujuan pernikahan sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 UU perkawinan yaitu menciptakan keluarga yang kekal dan bahagia. Hal yang demikian tidak akan terwujud jika dengan kawin kontrak yang hanya terbatas dengan waktu. ()