oleh : Rivaldo Bastanta Singarimbun
Internship Advokat Konstitusi
Kasus kematian Brigadir J yang terjadi pada Jumat (8/7/2022) menyimpan kejanggalan. Hal tersebut dikarenakan Pihak keluarga curiga bahwa ia meninggal karena dibunuh. Kecurigaan itu muncul karena banyaknya luka di sekujur tubuh Brigadir J.
Keluarga korban yang juga merupakan Advokat yakni Kamaruddin Simanjuntak, mengemukakan dalam salah satu kanal youtube dan beberapa pernyataannya di berbagai media, mengenai ditemukannya luka-luka tidak wajar berupa sayatan dan luka lainnya.“Untuk apa lagi, sekejam itu? Sudah mati masih dilakukan penyayatan dan penganiayaan. Berarti dia menganiaya mayat dong? Saya lebih tertarik berpikir, ini analisa ya, dianiaya dulu, disiksa dulu, disayat dulu, baru ditembak,” kata Kamaruddin.
Tidak hanya pihak keluarga yang menyimpan kecurigaan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, mengungkapkan setidaknya terdapat tiga kejanggalan. Pertama, kenapa kasus baru diumumkan tiga hari setelahnya. Kedua, keterangan aparat penegak hukum tidak sinkron atau berubah-ubah. Ketiga, pihak keluarga sempat tidak diperkenankan melihat jenazah.
Berdasarkan hal tersebut di atas, pihak keluarga kemudian secara resmi meminta jenazah untuk diotopsi ulang pada 18 Juli ke Bareskrim Polri.
Proses autopsi ulang yang diminta oleh keluarga Brigadir J, diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Terkait dengan pemeriksaan atas mayat, KUHAP Pasal 133 ayat (3) menentukan, bahwa mayat yang diperlukan untuk pemeriksaan kedokteran forensik, harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan dengan diberi label yang antara lain memuat identitas mayat.
Di samping itu, KUHAP Pasal 134 ayat (1) menentukan bilamana autopsi tidak mungkin dihindari, maka ada kewajiban bagi penyidik untuk memberitahukan terlebih dahulu pada keluarga korban, dan ayat (2) apabila keluarga keberatan dengan dilakukannya bedah mayat, maka penyidik wajib menjelaskan mengenai maksud dan tujuan dilakukannya autopsi, ayat (3) apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan Pasal 133 ayat (3).
Bertolak pada KUHAP Pasal 133 dan Pasal 134, adanya autopsi forensik bergantung pada ada atau tidaknya keluarga korban atau pihak yang menerima pemberitahuan untuk dilaksanakannya autopsi forensik. Apabila tidak ada pihak keluarga atau pihak yang menerima pemberitahuan untuk dilaksanakannya autopsi forensik, maka penyidik wajib melaksanakan ketentuan Pasal 133 ayat (3), yaitu memperlakukan mayat dengan penuh penghormatan. KUHAP Pasal 133 dan Pasal 134 tidak menentukan lebih lanjut untuk dilaksanakannya tindakan autopsi forensik apabila ada keberatan dari pihak keluarga.
KUHAP Pasal 134 ayat (2) ‘hanya’ menentukan tugas dan kewajiban penyidik untuk menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan dilaksanakannya autopsi forensik. KUHAP Pasal 134, tidak memberikan alternatif penyelesaian apabila terjadi penolakan autopsi forensik oleh pihak keluarga korban, dan ketentuan memperlakukan mayat dengan penuh penghormatan menurut Pasal 133 ayat (3), sebagaimana ditentukan di dalam KUHAP Pasal 134 ayat (3) tidaklah dapat dimaknai bahwa autopsi forensik dapat dilaksanakan meskipun ada penolakan dari pihak keluarga korban.
Ada inkonsistensi dalam KUHAP Pasal 134 terkait penerapan autopsi forensik, yang membuat kabur kasus-kasus kematian tidak wajar, seperti yang dialami oleh Brigadir J, berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan oleh pihak keluarga. ()