Rizky Novian
(Internship Advokat Konstitusi)
Pengaturan hukum ketenagakerjaan memasuki babak baru dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang mengubah, menghapus, dan menambah berbagai norma baru yang ada pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Pemerintah tetap mengatur adanya aturan upah minimum untuk membayar pekerja dalam undang-undang tersebut meskipun terdapat beberapa perubahan yang fundamental berkaitan dengan aturan ketenagakerjaan di Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan aturan tersebut wajib untuk dipatuhi oleh pengusaha.
Ketentuan ini tercantum di Pasal 88E ayat (2) UU Cipta Kerja yang menentukan bahwa, “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.” Upah minimum yang dimaksud ialah upah minimum provinsi yang telah ditetapkan oleh Gubernur sebagaimana yang diatur dalam Pasal 88C ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Bahkan di ayat (2) dalam pasal yang sama memberikan kewenangan bagi Gubernur untuk dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
Ketentuan upah minimum yang disusun dan ditetapkan oleh pemerintah sejatinya dilakukan sebagai safety net agar kesejahteraan pekerja tidak terabaikan akibat dari kedudukan pekerja yang subordinasi terhadap pengusaha. Dalam tipe hukum ketenagakerjaan yang diungkapkan oleh Tamara Lothion (Ujang, 2012), dapat dikatakan bahwa pemerintah menganut sistem tipe hukum ketenagakerjaan yang korporatis karena pemerintah membuat berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan sebagai usaha untuk melakukan pembinaan hukum nasional. Selain itu, pengaturan penetapan upah minimum ini dibuat semata-mata agar pekerja tidak berkedudukan sebagai objek yang hanya dibutuhkan tenaga dan pikirannya saja melainkan berkedudukan sebagai layaknya manusia pada umumnya yang memiliki harkat dan martabat yang wajib untuk dihormati dan dijunjung tinggi.
Namun, ternyata melalui UU Cipta Kerja ini terdapat pengecualian terhadap pemberlakuan upah minimum bagi sektor Usaha Mikro Kecil (UMK). Jika sebelumnya melalui UU Ketenagakerjaan, seluruh sektor unit usaha di Indonesia diwajibkan untuk mematuhi ketentuan upah minimum yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk membayar pekerjanya, dalam UU Cipta Kerja beserta aturan turunannya mengecualikan hal tersebut terhadap sektor UMK. Hal ini semata-mata dilakukan oleh pemerintah yang hendak mendorong perkembangan sektor UMK di Indonesia agar semakin dapat berkembang dan berdaya saing di pasar dengan cara memberikan berbagai kebijakan yang memudahkan pelaku usaha UMK untuk berusaha sehingga berdampak terhadap peningkatan perekonomian negara. Salah satu kemudahan dalam berusaha tersebut di antaranya mengecualikan ketentuan upah minimum untuk membayar pekerja di sektor UMK.
Berdasarkan data yang dirilis oleh pemerintah (indonesia.go.id, 2020), jumlah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Indonesia hingga tahun 2018 ialah sebanyak enam puluh empat juta unit usaha atau 99,99% dari total unit usaha di Indonesia. Sumbangan terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia 2018 juga berasal dari sektor UMKM yang menyumbang hingga Rp8.573,9 triliun atau sekitar 57,8%. Dari data tersebutlah yang menjadi salah satu landasan bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang inovatif terhadap sektor UMK agar UMK terus dapat menjadi penopang perekonomian Indonesia. Terlebih ketika terjadi beberapa krisis di Indonesia, terbukti UMK terus dapat melakukan kegiatan usahanya di tengah sektor usaha lainnya yang gulung tikar. Maka dari itu, tidak berlebihan jika UMK dikatakan sebagai salah satu roda penggerak ekonomi yang penting di Indonesia.
Pengecualian terhadap ketentuan upah minimum bagi sektor UMK termaktub dalam Pasal 90B ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menentukan bahwa, “Ketentuan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan bagi Usaha Mikro dan Kecil.” Aturan lebih lanjut terdapat pada Pasal 101 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, serta Pasal 36 hingga Pasal 38 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (PP Pengupahan).
Acuan bagi sektor UMK untuk memberikan upah bagi pekerja dapat dilihat pada Pasal 36 ayat (2) PP Pengupahan, yang menentukan bahwa upah pada UMK ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja di perusahaan dengan ketentuan:
a. Paling sedikit sebesar 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi;
b. Nilai upah yang disepakati paling sedikit 25% di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi. Data-data mengenai rata-rata konsumsi masyarakat dan garis kemiskinan tersebut diperoleh dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
Namun, pemerintah juga memberi batasan agar “celah” pengupahan bagi pekerja di sektor UMK tidak dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab yaitu melalui Pasal 38 PP Pengupahan, dimana pemerintah memberikan batasan bahwa sektor UMK wajib mempertimbangkan untuk mengandalkan sumber daya tradisional dan/atau tidak bergerak pada usaha berteknologi tinggi dan tidak padat modal dalam kegiatan usahanya.
Dengan begitu, jelas bahwa sektor UMK yang pada umumnya masih menggunakan alat-alat tradisional dalam menjalankan kegiatan usahanya serta tidak memiliki laba sebesar usaha di sektor lain diberi kelonggaran oleh pemerintah untuk dikecualikan dari ketentuan upah minimum yang telah ditetapkan di tingkat provinsi dan/atau kabupaten/kota. Hal ini semata-mata agar ketika UMK memberi upah di bawah ketentuan upah minimum yang telah ditetapkan (sebelum berlakunya UU Cipta Kerja), maka pelaku usaha dapat dijerat pidana penjara dan denda sebab membayar upah di bawah ketentuan upah minimum. Dampak jangka pendeknya adalah dapat mengganggu kegiatan berusaha dari sektor UMK itu sendiri sedangkan jangka panjangnya adalah terganggunya perekonomian nasional. ()