Oleh: Yukiatiqa Afifah
Kerusuhan terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang usai pertandingan Arema Fc vs Persebaya Surabaya pada lanjutan kompetisi Liga 1 dengan skor 2-3 pada hari Sabtu tanggal 1 Oktober 2022. Kerusuhan itu disebut sebagai tragedi terbesar sepanjang sejarah sepak bola karena menelan korban jiwa hingga 174 orang dan 180 orang lain masih dalam perawatan. Selain korban jiwa, terdapat 14 unit kendaraan yang mengalami kerusakan, dimana 10 diantaranya merupakan kendaraan Polri.
Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta menyatakan bahwa kerusuhan itu bermula ketika sekitar tiga ribu supporter Arema Fc turun ke lapangan pasca pertandingan. Mereka tidak puas dengan kekalahan tim kesayangannya di kandang sendiri.
“Dari 40 ribu penonton, tidak semua anarkis. Hanya sebagian, sekitar 3.000 penonton turun ke lapangan,” kata Nico dalam konferensi pers pada Minggu, 2 Oktober 2022.
Para suporter Arema FC itu disebut berupaya mencari pemain dan ofisial. Melihat kondisi itu, petugas keamanan berupaya melakukan pencegahan agar para suporter tidak mengejar pemain dan ofisial. Aparat keamanan lantas melepaskan gas air mata untuk membubarkan para suporter. Penembakan gas air mata dilakukan karena para pendukung tim berjuluk Singo Edan dinilai telah melakukan tindakan anarkis dan membahayakan keselamatan para pemain dan ofisial.
Akibat dari penembakan gas air mata tersebut, supporter pergi keluar ke satu titik, di pintu keluar. Kemudian terjadi penumpukan sehingga terjadi sesak nafas, kekurangan oksigen. Selain itu, mereka juga berdesak-desakkan, saling terhimpit dan terinjak-injak sehingga mengakibatkan banyak korban meninggal dunia. Padahal dalam Stadium Safety and Security Regulation Pasal 19, FIFA sebagai badan sepak bola menetapkan petugas keamanan atau polisi tidak boleh membawa senjata api atau “gas pengendali massa” dalam pertandingan sepak bola. Dalam aturan petugas disebut dengan istilah ‘pitchside stewards’. Menyorot pada poin 19 b, petugas keamanan secara tegas dilarang menggunakan gas air mata atau gas pengendali massa yang lainnya.
Berkaca pada banyaknya dampak buruk yang ditimbulkan akibat dari penggunaan gas air mata, bagaimana pengaturan mengenai penggunaan gas air mata oleh aparat kepolisian di Indonesia?
Sejatinya penggunaan gas air mata oleh aparat kepolisian diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Dalam regulasi tersebut, Penggunaan Kekuatan adalah segala penggunaan/pengerahan daya, potensi atau kemampuan anggota Polri dalam rangka melaksanakan tindakan kepolisian. Kemudian dalam penggunaan kekuatan berdasarkan pasal 5 regulasi ini, pihak kepolisian memiliki beberapa tahapan diantaranya :
- tahap 1 : kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan;
- tahap 2 : perintah lisan;
- tahap 3 : kendali tangan kosong lunak;
- tahap 4 : kendali tangan kosong keras;
- tahap 5: kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri;
- tahap 6: kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat
Merujuk pada ketentuan tersebut, bahwa aparat kepolisian tidak boleh serta merta langsung menggunakan kekuatan secara berlebihan namun harus dilakukan upaya-upaya preventif dan humanis terlebih dahulu. Pada setiap tahapan penggunaan kekuatan yang dilakukan harus diikuti dengan komunikasi lisan/ucapan dengan cara membujuk, memperingatkan dan memerintahkan untuk menghentikan tindakan yang membahayakan tersebut.
Namun terdapat beberapa keadaan yang membolehkan aparat kepolisian menggunakan kekuatannya berupa senjata, gas air mata dan lain sebagainya dalam hal tindakan agresif yang bersifat segera yang dilakukan oleh pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian atau membahayakan kehormatan kesusilaan anggota Polri atau masyarakat atau menimbulkan bahaya terhadap keselamatan umum, seperti: membakar stasiun pompa bensin, meledakkan gardu listrik, meledakkan gudang senjata/amunisi, atau menghancurkan objek vital, dapat dihadapi dengan kendali senjata api atau alat lain.
Selanjutnya sesuai dengan Pasal 8 Ayat (1) aturan ini, Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api, gas air mata atau alat lain dilakukan ketika:
- tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat;
- anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut;
- anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.
Pada dasarnya penggunaan kekuatan dengan senjata api atau alat lain merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka. Penggunaan senjata api, gas air mata atau alat lainnya dari dan ke arah kendaraan yang bergerak atau kendaraan yang melarikan diri diperbolehkan, dengan kehati-hatian yang tinggi dan tidak menimbulkan resiko baik terhadap diri anggota Polri itu sendiri maupun masyarakat. Dalam hal penggunaan senjata api, gas air mata dan alat lainnya anggota Polri harus memiliki kualifikasi sesuai ketentuan yang berlaku dan mendapatkan pelatihan dari kesatuan pusat atau wilayah. ()