Oleh : Mario Agritama
Content Creator Advokat Konstitusi
Secara historis sejarah Demokrasi Konstitusional berkembang pada abad ke-19, di mana pengertian demokrasi sama dengan negara yang menganut konstitusionalisme atau suatu gagasan konstitusionalisme dalam sistem ketatanegaraan. Menurut Miriam Budiardjo tujuan dari semua itu adalah menggagas tentang cara membatasi kekuasaan pemerintah melalui konstitusi yang tertulis maupun tidak tertulis. Melalui konstitusi tersebut dapat ditemukan batas-batas kekuasaan pemerintah dan jaminan atas hak-hak politik rakyat, sehingga kekuasaan pemerintah dapat diimbangi dengan kekuasaan parlemen dan lembaga hukum.
Charles Howard McIlwain dalam (Thohari, 2018: 99) menyatakan bahwa paham konstitusionalisme semestinya menghadirkan 2 unsur fundamental, yaitu batasan-batasan antara hukum terhadap kekuasaan dan pertanggungjawaban politik sepenuhnya dari pemerintah kepada yang diperintah. Dalam rangka membawa gerakan pembaharuan dalam sebuah negara dengan corak politik otoritarianisme diperlukan adanya suatu lembaga yang mampu menopang gagasan demokrasi konstitusional tersebut. Salah satu lembaga negara yang ideal untuk menjalankan fungsi tersebut adalah Mahkamah Konstitusi.
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi pun lahir sebagai salah satu buah perkembangan pemikiran hukum ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Indonesia menjadi negara pertama pada Abad ke-21 yang merumuskan keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam konstitusinya (Sirajuddin & Winardi, 2015: 162). Sebagai organ konstitusi, Mahkamah Konstitusi didesain sebagai pengawal dan sekaligus penafsir terhadap UUD NRI 1945 melalui putusan-putusannya.
Dalam Menjalankan tugas konstitusionalnya, Mahkamah Konstitusi berupaya mewujudkan visi kelembagaannya, yakni “Tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cinta negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat”. Beberapa kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 yakni, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dengan kewenangan yang demikian telah menandai era baru dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dimana pada beberapa wilayah yang sebelumnya tidak tersentuh (untouchable) oleh hukum, seperti masalah Judicial Review atau pengujian undang-undang, kini dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (Sutiyoso, 2016: 26).
Berkaitan dengan peran Mahkamah Konstitusi dalam mewujudkan terlaksananya konsep negara demokrasi konstitusional di Indonesia, setidaknya dapat diamati pasca terbentuknya Mahkamah Konstitusi telah terbangun kesadaran yang cukup baik oleh pembentuk undang-undang dalam merumuskan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan konsep demokrasi, hak asasi manusia, serta tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945. Tidak hanya itu, DPR dan Presiden pun mulai menganggap bahwa apabila ada sebagian pasal atau apalagi keseluruhan undang-undang dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan karena itu tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, maka dianggap merupakan catatan politik kelam yang dapat mengurangi kredibilitasnya di mata publik. Inilah titik di mana salah satu keberhasilan Mahkamah Konstitusi dapat dirasakan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Lebih lanjut, bukti lain bahwa Mahkamah Konstitusi telah cukup berhasil mengokohkan demokrasi konstitusional di Indonesia adalah Presiden tidak lagi terancam pemakzulan (impeachment) karena alasan-alasan yang bersifat politis. Presiden hanya dapat dimakzulkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah adanya “forum previlegiatum” di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah memerankan fungsi untuk mendorong dan mengawal demokrasi konstitusional, sehingga demokrasi (people’s sovereignty) bersinergi dengan nomokrasi (the sovereignty of law) (Thohari, 2018: 103).
Kendatipun dengan kewenangan di atas Mahkamah Konstitusi sudah cukup baik dalam upaya mewujudkan penguatan demokrasi konstitusional di Indonesia, bukan berarti tidak ada catatan yang perlu dibenahi oleh Mahkamah Konstitusi saat ini. Misalnya pada kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang masih begitu minim apabila dibandingkan dengan berbagai negara di dunia. Di Korea Selatan, Mahkamah Konstitusinya telah memiliki kewenangan constitutional complaint atau pengaduan konstitusional. Berikutnya, Mahkamah Konstitusi Austria memiliki kewenangan untuk melakukan constitutional question atau pertanyaan konstitusional. Keseluruh kewenangan tersebut merupakan beberapa bentuk upaya untuk menjamin terlindunginya hak konstitusional warga negara yang belum diakomodir oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Oleh karenanya, diperlukan penguatan dan penambahan beberapa kewenangan diatas yang akan memperkuat ikhtiar Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam mewujudkan negara demokrasi konstitusional.
Daftar Pustaka
- Sirajuddin & Winardi. 2015. Dasar-Dasar Hukum Tata Negara. Setara Press: Malang
- Thohari, A. Ahsin. 2009. “Mahkamah Konstitusi dan Pengokohan Demokrasi Konstitusional di Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia Volume 6 Nomor 3
- Sutiyoso, Bambang. 2016. “Pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai Pelaku Kekuasaan Kehakiman di Indonesia”. Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 6
()