Oleh : Mario Agritama
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi lahir sebagai salah satu buah perkembangan pemikiran hukum ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Indonesia menjadi negara pertama pada Abad ke-21 yang merumuskan keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam konstitusinya (Sirajuddin & Winardi, 2015: 162). Pemikiran tersebut tidak terlepas dari asas-asas demokrasi dimana hak politik rakyat dan hak asasi merupakan tema dasar dalam pemikiran politik ketatanegaraan.
Hak tersebut dijamin secara konstitusional dan diwujudkan secara institusional melalui lembaga negara yang melindungi konstitusi tersebut. Oleh karenanya, guna menjamin terjaganya hak konstitusional setiap warga negara, Mahkamah Konstitusi hadir sebagai salah satu lembaga negara yang dikonstruksikan untuk melindungi hak tersebut (Sihombing, 2018: 76).
Sebagai peradilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi mempunyai berbagai karakter khas yang membedakannya dengan peradilan umum lainnya. Salah satu karakter khas tersebut, yaitu sifat putusan yang final dan tidak ada upaya hukum lainnya. Sifat final a quo tertuang di dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
Lebih lanjut, ketentuan a quo kembali ditegaskan di dalam Pasal 10 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yaitu putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Dalam praktiknya, sifat putusan “final” yang dilekatkan pada Mahkamah Konstitusi beberapa kali dipersoalkan. Misalnya saja, Komisi III DPR RI pernah menyuarakan isu agar peluang Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dibuka pada saat pembahasan Revisi UU tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial pada tahun 2008. Tidak hanya itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun juga pernah mengusulkan agar adanya PK atas Putusan Mahkamah Konstitusi (Suroso, 2018).
Berdasarkan atas persoalan tersebut, yang menjadi pertanyaan mengapa Mahkamah Konstitusi memiliki sifat putusan yang “final”? Apa makna dibalik sifat putusan a quo?
Gagasan mengenai sifat final Putusan Mahkamah Konstitusi tidak terlepas dari kesepakatan untuk membentuk Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir. Dalam hal ini, tidak adanya upaya hukum dimaksudkan agar Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dapat menyelesaikan persoalan dan memberikan kepastian hukum secara cepat sesuai prinsip peradilan yang cepat dan sederhana. Menurut Fajar Laksono (2018) dalam bukunya yang berjudul Potret Relasi Mahkamah Konstitusi-Legislator: Konfrontatif atau Kooperatif? mengemukakan bahwa terdapat tiga alasan yang menopang adanya sifat putusan yang demikian, yaitu:
Pertama, sifat putusan final dan mengikat MK berkaitan erat dengan hakikat kedudukan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Dalam hal ini tidak ada hukum lain yang lebih tinggi dari UUD 1945. Oleh karenanya, apabila suatu persoalan hukum dihadapkan kepada MK dengan menggunakan UUD 1945 sebagai dasar pengujiannya, maka putusan terhadap persoalan hukum a quo pun bersifat final. Mengapa demikian, karena para pihak telah menempuh upaya pencarian keadilan yang ditautkan pada hukum yang memiliki derajat supremasi tertinggi.
Kedua, sifat final putusan MK merupakan upaya menjaga wibawa peradilan konstitusional. Mengapa demikian, apabila peradilan konstitusi mengakomodasi upaya hukum, maka tidak ada bedanya dengan peradilan umum. Dimana pada peradilan umum lazim ditemukan berbagai perkara yang diajukan upaya hukum terhadap putusannya memakan waktu yang begitu panjang, sehingga bertentangan dengan asas peradilan cepat dan biaya ringan.
Ketiga, resiko putusan Mahkamah Konstitusi mengandung salah dan cacat tetap saja ada dan dimungkinkan. Akan tetapi, apabila merujuk pada pendapat Moh. Mahfud MD, yang menyatakan bahwa putusan MK tetap final karena pilihan vonis tergantung pada perspektif dan teori yang digunakan hakim, putusan hakim dapat menyelesaikan perbedaan, dan tidak ada alternatif yang lebih baik untuk menghilangkan sifat final dari putusan MK.
Oleh karenanya patut untuk dipahami bahwa keberadaan sifat final dari Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki arti yang sangat penting dalam menjaga kedudukan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi serta wibawa peradilan konstitusi. Pemikiran akan pemberian upaya hukum lain bagi Putusan MK merupakan sesuatu yang tidak dapat dibenarkan dan tidak memiliki landasan konstitusional. Apabila terdapat pihak yang berkehendak untuk mengajukan upaya hukum terhadap putusan MK, maka jalan satu-satunya yang dapat dilakukan adalah dengan amandemen konstitusi dikarenakan ketentuan a quo diatur di dalam konstitusi. ()