Oleh: Ida Bagus Gede Putra Agung Dhikshita (Constitutional Content Creator)
Konflik norma dalam tata hukum positif selalu menjadi persoalan menarik untuk dibahas, khususnya di negara yang menjadikan legislasi sebagai sumber hukum formil yang utama. Konflik norma seringkali terjadi dalam tata hukum positif karena substansi hukum bersifat kompleks dan dinamis. Konflik ini terjadi antara peraturan yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi (vertical), antar peraturan yang sederajat (horizontal), dan antar norma dalam satu instrumen pengaturan itu sendiri (internal). Cara yang lazim dipraktikkan dalam mengatasi persoalan ini adalah menerapkan asas konflik norma, yaitu asas lex superior derogat legi inferiori, lex posterior derogate legi priori, dan lex specialis derogate legi generali.
Hubungan antar norma hukum dapat digambarkan sebagai hubungan antara “superordinasi” dan “subordinasi” yang merupakan kiasan keruangan. Tatanan hukum merupakan suatu tatanan urutan norma dari tingkatan yang berbeda. Pembentukan norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi dengan diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi. Pemikiran ini dikembangkan oleh Adolf Julius Merkl, Hans Kelsen, dan Hans Nawiasky.
Dalam bukunya ”Allgemeine der Normen” dan kemudian diterjemahkan bebas dapat diartikan bahwa konflik norma adalah konflik antara dua norma terjadi apabila antara apa yang diperintahkan dalam ketentuan suatu norma dengan apa yang diperintahkan dalam ketentuan norma lainnya tidak kompatibel/tidak cocok sehingga mematuhi atau melaksanakan satu norma tersebut akan niscaya atau mungkin menyebabkan pelanggaran terhadap norma lainnya. Konflik norma dapat dibedakan menjadi konflik normal bilateral dan unilateral serta konflik norma total dan parsial.
Sebelum membahas asas konflik norma, perlu lebih dulu dipahami makna dari kata “derogate” (derogasi) yang digunakan sebagai predikat dalam setiap kaidah/dalil asas konflik norma. Kata ‘derogat’ berasal dari kata kerja dasar ‘derogare’, sederhananya dalam ranah hukum kata ini bermakna menghilangkan nilai, keberlakuan, atau keefektifan dari.. sehingga dalam konteks konflik norma, derogasi dapat diartikan sebagai peniadaan validitas suatu norma terhadap norma yang lainnya. Fungsinya sangat penting untuk menentukan norma mana yang harus diutamakan/diberlakukan apabila terdapat norma yang saling bertentangan.
Asas Konflik Norma dan Problematika dalam Penggunaannya
Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori
Asas ini bermakna undang-undang (norma/aturan hukum) yang lebih tinggi meniadakan keberlakuan undang-undang (norma/aturan hukum) yang lebih rendah. Suatu norma dapat diuji hanya dengan mengkonfirmasikan bahwa norma tersebut memperoleh validitasnya dari norma dasar yang membentuk tatanan norma tersebut. Dalam sistem hukum Indonesia diatur dalam ketentuan Pasal 7 dan 8 UU 12 Tahun 2011 tentang P3.
Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori
Asas ini bermakna undang-undang (norma/aturan hukum) yang baru meniadakan keberlakuan undang-undang (norma/aturan hukum) yang lama. Asas ini hanya dapat diterapkan dalam kondisi norma hukum yang baru memiliki kedudukan yang sederajat atau lebih tinggi dari norma hukum yang lama. Penerapan asas ini melihat waktu mulai berlakunya peraturan secara kronologis. Dalam sistem hukum Indonesia hal ini telah diadopsi dalam Lampiran II UU No.12 Tahun 2011.
Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali
Asas ini bermakna undang-undang (norma/aturan hukum) yang khusus meniadakan keberlakuan undang-undang (norma/aturan hukum) yang umum. Adapun prinsip/asas ini telah dikenal dan dipraktikkan sejak dulu, jauh sebelum terbentuknya negara hukum modern seperti yang ada pada saat ini. Rasionalitas pengutamaan bagi hukum yang khusus ini adalah bahwa aturan hukum yang khusus tentunya lebih relevan dan kompatibel serta lebih disesuaikan dengan kebutuhan hukum.
Menerapkan asas lex specialis bukanlah suatu hal yang mudah mengingat tidak adanya ukuran yang pasti untuk menentukan secara mutlak bahwa suatu aturan hukum adalah bersifat khusus terhadap aturan hukum lainnya yang bersifat umum. Hubungan umum-khusus antara suatu peraturan dan peraturan lainnya bersifat relatif, adakalanya suatu peraturan berkedudukan lex specialis, namun dalam hubungannya dengan peraturan lain dapat pula berkedudukan sebagai lex generalis.
Terdapat perbedaan pandangan para ahli hukum dalam menyikapi keberadaan dan fungsi seperangkat asas konflik norma ini. Dalam hukum internasional, Pauwelyn menolak asas ini sebagai asas atau norma hukum yang mutlak dan beridiri sendiri. Heckmann juga menyatakan bahwa asas ini merupakan metode penafsiran yang dapat digunakan apabila tidak terdapat ketentuan tegas yang membatalkan salah satu norma yang bertentangan. Erich Vranes menyimpulkan bahwa penerapan asas ini adalah rumit dan memberikan solusi yang tidak tuntas dalam mengatasi persoalan konflik norma
Sejatinya derogasi tidak cukup sekedar dimaknai sebagai suatu metanorma berupa asas, prinsip, atau logika hukum, melainkan sebagai suatu norma hukum tersendiri yang harus dicantumkan secara eksplisit dalam peraturan yang dibentuk. Hal ini sejalan dengan asas pembentukan perundang-undangan, yaitu asas kepastian hukum dan asas dapat dilaksanakan.
Penalaran Hukum atas suatu konflik norma dilakukan sebagai berikut.
- Melihat kedudukan norma yang bertentangan tersebut secara hirarki peraturan perundang-undangan. Jika salah satu norma memiliki kedudukan lebih tinggi maka norma dalam peraturan yang lebih tinggi diutamakan.
- Dalam hal norma tersebut bertentangan dalam kedudukan yang sederajat maka langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi apakah terdapat hubungan yang bersifat umum-khusus dari dua norma tersebut. Jika salah satu norma bersifat khusus maka norma khusus tersebut yang diutamakan.
- Dalam hal hirarki norma yang saling bertentangan tersebut memiliki kedudukan yang sederajat dan secara materi muatan tidak menggambarkan pengaturan umum-khusus maka dilihat waktu keberlakuannya, sehingga norma yang baru yang diuatamakan.
Kesimpulan
Upaya mencari jawaban atas persoalan konflik norma dalam peraturan perundang-undangan seringkali dilakukan dengan menggunakan apa yang penulis sebut dalam tulisan ini sebagai asas konflik norma, yaitu asas lex superior derogat legi inferiori, lex specialis derogat legi generali, dan lex posterior derogat legi priori. Sejatinya, penentuan norma mana yang diberlakukan dalam kasus konflik norma, tidak dapat sekedar mendasarkan pada suatu metanorma berupa asas, prinsip, atau logika hukum, melainkan harus dinyatakan secara eksplisit dalam suatu norma tersendiri, yaitu norma derogasi (derogation norm).
Namun dalam praktik, kasus konflik norma seringkali menghadapkan kita pada situasi yang sulit karena ketiadaan norma derogasi. Dalam kondisi ini, penerapan asas konflik norma menjadi tidak dapat dihindari dan sangat membantu dalam menemukan jawaban norma mana yang seharusnya diberlakukan. Asas konflik norma merupakan bagian dari ilmu pengetahuan hukum (legal science) dan doktrin yang dikembangkan oleh para ahli untuk mengeliminasi kontradiksi antar norma, sehingga sistem hukum tetap dimaknai sebagai suatu tatanan hukum yang teratur dan harmonis. ()