Menakar Kewenangan DPD dalam Pembentukan RUU

Oleh : Maria Fransisca 

Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia secara konstitusional telah diatur berlandaskan pada UUD NRI 1945, tepatnya pada pembahasan amandemen ketiga yang terjadi pada tanggal 1 November sampai dengan 10 November 2001. Secara historis, gagasan pembentukan DPD sesungguhnya diarahkan untuk membangun sistem bikameral yang kuat dan efektif (strong and effective bicameral) dan bukan merupakan reinkarnasi dari fraksi Utusan Golongan yang sekedar menyampaikan aspirasi belaka. Namun gagasan pembentukan sistem strong bicameral di Indonesia ini mendapat pertentangan secara agresif dari beberapa fraksi di MPR melalui panitia Ad Hoc perubahan UUD 1945 pada medio 1999 hingga tahun 2002. Kelompok penentang ini memiliki kekhawatiran bahwa keberadaan DPD dapat mengancam NKRI dan menjerumuskan Indonesia ke arah negara federal.

Pada perdebatan kala itu terdapat dua argumentasi yang saling bertolak belakang bahwa ada fraksi yang menginginkan adanya sistem bikameral murni dengan DPD sebagai penyeimbang peran DPR, namun ada pula fraksi yang menginginkan adanya DPR tetap sebagai lembaga yang mendominasi peran lembaga legislatif. Mengutip pendapat Anggota PAH I Patrialis Akbar (F-Reformasi) mengkhawatirkan munculnya persaingan antar kedua lembaga yang mungkin saja memiliki visi dan kepentingan berbeda, yang berujung pada situasi tidak kunjung disahkannya suatu Rancangan Undang-Undang serta menciptakan suatu ketidakpastian hukum di masyarakat.

Gagasan tim ahli yang cenderung mengadopsi tipe parlemen bikameral kuat, oleh ketua PAH I Jacob Tobing (F-PDIP) dianggap hanya cocok untuk konteks negara federal. Sementara dalam bentuk negara kesatuan, dan terkait pemahaman tentang kebangsaan, pilihannya adalah tipe parlemen bikameral lunak. Oleh karena itu, apabila kita mengkaji konstitusi khususnya terkait peran DPD sebagaimana termakhtubkan dalam 22D UUD NRI 1945, banyak pakar berpendapat bahwa peran DPD sangat timpang dibandingkan dengan DPR. Pada tahapan prosedural, DPD hanya ikut dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) di tahap I. Namun pada pembahasan tahap II dilaksanakan dalam sidang Paripurna DPR hanya melibatkan DPR dan Presiden guna mengambil persetujuan bersama atas sebuah RUU layak atau tidak diteruskan menjadi undang-undang.

Realitas yang melemahkan kedudukan DPD ini kemudian mendorong DPD untuk mengajukan permohonan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap UUD NRI 1945 pada tanggal 14 september 2012. Permohonan pengujian dua undang-undang tersebut terhadap UUD NRI 1945 ditempuh dengan maksud untuk memperoleh penafsiran yang lebih tepat dan pasti bagi kepentingan bersama dalam sistem legislasi antara DPR, DPD, dan Presiden. Setelah menempuh beberapa sidang, MK meneguhkan lima hal melalui Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 yaitu sebagai berikut:

  1. DPD RI terlibat dalam pembuatan Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
  2. DPD RI berhak mengajukan RUU yang dimaksud dalam Pasal 22 D ayat (1) UUD NRI 1945 sebagaimana halnya atau bersama-sama dengan DPR dan Presiden, termasuk dalam pembentukan RUU Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
  3. DPD RI berhak membahas RUU secara penuh dalam konteks Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945.
  4. Pembahasan RUU dalam konteks Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945 bersifat tiga pihak (tripatrit), yaitu antara DPR, DPD dan Presiden.
  5. MK menyatakan bahwa ketentuan dalam undang-undang MD3 dan Undang-Undang P3 yang tidak sesuai dengan tafsir MK atas kewenangan DPD dengan sendirinya bertentangan dengan UUD NRI 1945, baik yang diminta maupun tidak.

Melihat putusan MK, maka hal ini hanya berimplikasi bahwa DPD dapat turut terlibat dalam pembahasan RUU pada tingkat II bersama dengan DPR dan Presiden. Meskipun demikian, masih terdapat banyak pihak yang menginginkan DPD memiliki kedudukan yang setara dengan DPR, khususnya dalam pengesahan suatu RUU. Hal ini dikarenakan, ketika DPD hanya ikut serta dalam tahap pembahasan, maka DPD seolah-olah bertindak sebagai organ auxiliary DPR yang hanya berperan memberi pertimbangan semata. Gambaran kedudukan DPD memperlihatkan bahwa DPD menjadi lembaga negara yang miskin akan kewenangan.

Penerapan konsep Strong Bicameralism diharapkan mampu menjadi penopang utama dalam mewujudkan cita negara terkait dengan otonomi daerah. Inti dari penguatan lembaga legislatif adalah kewenangan legislasi. Dengan kata lain untuk meningkatkan kualitas DPD, maka kewenangan DPD dalam hal legislasi perlu diperkuat, yakni dengan memberikan kewenangan kepada DPD untuk ikut dalam proses persetujuan bersama. Dengan kondisi tersebut maka potensi sistem presidensial dan struktur parlemen yang baik dapat diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Referensi

  • Hanim, Muslimah. 2007. Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945 Amandemen Keempat. Pekanbaru : UIR Press.
  • Taufik, Hidayat .2015. Penerapan Sistem Soft Bikameral dalam Parlemen di Indonesia. JOM Fakultas Hukum Volume 2.
  • Sulaiman, King Faisal. 2013. Sistem Bikameral Dalam Spektrum Lembaga Parlemen Indonesia, Yogyakarta : UII Press.

()