Oleh: Catur Agil Pamungkas
Menyongsong perhelatan Pilkada Serentak Nasional tahun 2024, sejumlah daerah di Indonesia mulai memasuki masa transisi yang ditandai dengan pengangkatan penjabat kepala daerah untuk menggantikan jabatan kepala daerah definitif yang habis masa jabatanya. Berdasarkan data, terdapat 271 daerah atau lebih kurang 90 % wilayah yang akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah dalam waktu yang lama.
Berbagai masalah kemudian muncul, salah satunya akibat kewenangan penjabat kepala daerah yang terbatas atau tidak seluas kepala daerah definitif, khususnya dalam aspek kepegawaian. Permasalahan tersebut kemudian coba diatasi oleh Kementerian Dalam Negeri melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 821/5492/SJ tanggal 14 September 2022 yang memberikan persetujuan terbatas kepada penjabat (Pj), pelaksana tugas (Plt), dan pejabat sementara (Pjs) dalam mengelola kepegawaian daerah.
Akan tetapi langkah tersebut justru menuai polemik lantaran dinilai mendistorsi atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Ketentuan yang termuat dalam SE Mendagri Nomor 821/5492/SJ
Bahwa dalam hal ini, Menteri Dalam Negeri memberikan persetujuan tertulis kepada Pelaksana Tugas (Plt), Penjabat (Pj), dan Pejabat Sementara (Pjs) Gubernur/Bupati/Walikota untuk melakukan :
- Pemberhentian, pemberhentian sementara, penjatuhan sanksi dan/atau tindakan hukum lainya kepada pejabat/ aparatur sipil negara yang berada di lingkungan pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota yang melakukan pelanggaran disiplin dan/atau tindak lanjut proses hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- Persetujuan mutasi antar daerah dan/atau antar instansi pemerintahan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang diatur dalam peratudan perundang undangan. Dengan demikian tidak perlu lagi mengajukan permohonan persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) sampai dengan angka 3 (tiga) diatas.
Ketentuan diatas kemudian menuai polemik dari berbagai pihak, karena dinilai memuat sebuah norma baru yang kontra produktif atau bertentangan dengan PP No. 49 Tahun 2008, padahal istilah Surat Edaran itu sendiri tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Kedudukan Surat Edaran
Dalam hal ini, berdasarkan Hukum Administrasi Negara istilah Surat Edaran lebih tepat disebut sebagai Beleidsregel atau peraturan kebijaksanaan yang berfungsi sebagai sebuah instrumen komunikasi antar jabatan Tata Usaha Negara, dan merupakan salah satu perwujudan dari diskresi tertulis dari pejabat Tata Usaha Negara, maka dari itu, menjadi tidak tepat apabila dalam sebuah peraturan kebijaksanaan (SE Mendagri) memuat sebuah norma hukum (novos normos iuris), karena Pejabat Tata Usaha Negara tidak memiliki kewenangan legislasi sehingga tidak bisa menyusun norma hukum baru. Dimana peraturan kebijaksanaan (diskresi) lebih tepat untuk mengatur teknis operasional pelaksanaan wewenang Tata Usaha Negara.
Mendistorsi PP No. 49/2008
Berdasarkan Pasal 132A Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas peraturan pemerintah Nomor 2005 tentang Pemilihan, pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ditentukan bahwa:
“Penjabat Kepala Daerah atau pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana yang dimaksud Pasal 130 ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 131 ayat (4) atau yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah karena mengundurkan diri untuk mencalonkan atau dicalonkan menjadi kepala daerah/ wakil kepala daerah dilarang untuk: a) melakukan Mutasi pegawai, b) membatalkan perizinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya, c) membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya, d) membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintah dan program pembangunan pejabat sebelumnya”.
Maka berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di atas, memang terdapat limitasi kewenangan dalam hal menjalankan sebagai Kepala Daerah, salah satunya adalah larangan untuk melakukan mutasi pegawai.
Selain itu, terdapat sebuah peraturan kebijaksanaan yang mengatur aspek kepegawaian secara lebih teknis operasional yakni berdasarkan Surat Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-304/.10. dalam surat tersebut memberikan catatan terhadap kewenangan yang tidak bisa diambil oleh Penjabat Kepala Daerah, yakni Penjabat Kepala Daerah tidak memiliki wewenang untuk mengambil atau menetapkan keputusan yang memiliki akibat hukum (civil effect), utamanya dalam aspek kepegawaian seperti melakukan mutasi pegawai yang berupa pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam/ dari ASN, menetapkan keputusan hukuman disiplin yang berupa pembebasan dari jabatan atau pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai negeri sipil kecuali telah mendapatkan persetujuan dari Mendagri.
Sehingga substansi dari SE Menteri Nomor 821/5492/SJ yang memberikan tambahan kewenangan kepada Penjabat Kepala Daerah untuk bisa melakukan mutasi dan pemberhentian aparatur sipil tanpa persetujuan Mendagri bertentangan dengan peraturan perundangan undangan dan peraturan kebijaksanaan diatas.
Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat sebuah adagium hukum yang menyatakan “ex norma vetante, iura oriri nequeunt earundem prohibitionem” yang artinya dari sebuah norma yang melarang, tak dapat timbul hak dengan mengesampingkan larangan tersebut. Sehingga substansi dalam SE Mendagri tersebut sejatinya tidak bisa mengesampingkan larangan yang telah dicantumkan baik dalam PP Nomor 49 tahun 2008 maupun peraturan kebijaksanaan yang telah diatur sebelumnya. ()