Oleh: Rania Fitri
(Internship Advokat Konstitusi)
Keberadaan sistem outsourcing atau alih daya dalam ketenagakerjaan di Indonesia terus menjadi problematika pasca dilegalkan melalui Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003. Bagi pengusaha sistem outsourcing dipilih karena dianggap sebagai cara yang efektif untuk mengurangi biaya produksi sehingga perusahaan dapat memaksimalkan keuntungan melalui pemanfaatan pengeluaran biaya tunjangan pada karyawan yang disalurkan pada produksi perusahaan. Bagi buruh penerapan sistem ini banyak memberikan ketidakadilan. Legalisasi sistem outsourcing ini terus mendapatkan penolakan dari kalangan buruh/pekerja karena tidak menciptakan kepastian kerja berikut dengan perlindungan nya bagi pekerja/buruh khususnya ketentuan yang memperbolehkan buruh dikontrak dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Perjanjian kerja dan hubungan kerja outsourcing dengan PKWT dianggap tidak memenuhi prinsip keadilan karena dibuat tertulis dengan perjanjian baku, terbatasnya masa kerja, dan mudah di PHK ( I Nyoman Budhiarta : 2016).
Pengaturan sistem outsourcing menjadi ketentuan yang ikut diubah dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pengaturan dalam undang-undang ini juga mensyaratkan adanya peraturan pemerintah untuk mengatur mengenai perlindungan pekerja yang menjadi tanggung jawab perusahaan outsourcing . Peraturan pemerintah yang dimaksud telah selesai dan disahkan, yaitu Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa perlindungan pekerja/buruh, upah kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul yang menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya. Selebihnya PP ini menegaskan kembali ketentuan-ketentuan mengenai outsourcing yang dimuat hanya menegaskan apa yang sudah diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja mencabut dan mengubah ketentuan dalam pasal 64 dan 65 Undang-Undang No. 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 64 yang dicabut menentukan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Pasal 65 Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur mengenai larangan pemberian perintah untuk melaksanakan kegiatan pokok atau yang berhubungan dengan proses produksi, syarat kegiatan yang harus diperintahkan, kewajiban perusahaan outsourcing untuk berbadan hukum dan memiliki izin, dan ketentuan mengenai batal hukumnya perjanjian apabila syarat-syarat nya tidak dipenuhi.
Sementara pasal 66 diubah dengan mengadopsi ketentuan pasal 65. Pasal 65 yang diadopsi diantaranya merupakan ketentuan yang mempertahankan kewajiban perjanjian untuk dibuat tertulis baik bagi PKWT maupun PKWTT, pembebanan tanggung jawab perlindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat kerja dan perselisihan yang timbul pada perusahaan outsourcing atau pemborongan , dan keharusan perusahaan untuk berbentuk badan hukum. Sementara ketentuan yang dihilangkan adalah mengenai syarat-syarat pekerjaan yang dapat diserahkan dan mengenai peralihan hubungan kerja pada perusahaan pemberi kerja apabila syarat-syarat tidak terpenuhi dan perusahaan tidak berbadan hukum.
Menjadi ketentuan baru dalam peraturan ini adalah kewajiban pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh dengan hubungan kerja PKWT apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaanya tetap ada. Dalam hal ini dinyatakan bahwa persyaratan pengalihan tersebut merupakan jaminan atas kelangsungan bekerja bagi pekerja/buruh dengan hubungan kerja PKWT. Apabila pekerja/buruh tidak memperoleh jaminan kelangsungan bekerja tersebut maka perusahaan alih daya tersebut bertanggung jawab atas pemenuhan hak-hak pekerja/buruh.
Pada dasarnya perumusan ketentuan mengenai pengalihan syarat tersebut dapat dilihat sebagai upaya kepatuhan pembentuk undang-undang dan peraturan pemerintah terhadap putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 yang sebelumnya hanya dimuat dalam surat edaran menteri. Dalam putusan MK tersebut dinyatakan bahwa pasal 59 dan pasal 66 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perihal outsourcing dan pekerja PKWT atau pekerja PKWTT tidak bertentangan dengan pasal 27 ayat 2, pasal 28 ayat 2, dan pasal 33 ayat 1 UUD 1945 tentang hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak atas imbalan yang pantas dan perlakuan yang sama dalam hubungan kerja, dan perekonomian yang disusun berdasarkan asas kekeluargaan. Hal itu berlaku apabila status hubungan kerja yang digunakan antara pekerja dengan perusahaan adalah PKWTT. Namun status hubungan kerja dengan PKWT dapat dilakukan kepada pekerja outsourcing dengan perusahaan outsourcing yang menggantikan perusahaan outsourcing sebelumnya dalam mengerjakan pekerjaan yang tetap ada pada perusahaan pemberi pekerjaan. Ditambahkan nya hasil putusan MK ini memberikan angin segar bagi kepastian kerja pekerja outsourcing .
Pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini mengalami kekosongan hukum dalam hal apabila perusahaan outsourcing tidak melakukan penyerahan kewajiban apabila terdapat pergantian perusahaan outsourcing . Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana ketentuan ini dapat menjamin setiap perusahaan outsourcing yang mengalami pergantian tersebut dapat menjalankan kewajibanya. Melihat pentingnya penyerahan kewajiban untuk melindungi pekerja/buruh, menurut penulis dirasa perlu adanya penerapan sanksi pada perusahaan outsourcing yang melalaikan kewajibanya.
Sedari awal konsep outsourcing dalam ketenagakerjaan dinilai memiliki karakteristik perbudakan modern sehingga pengaturan yang tidak berpihak pada pekerja/buruh akan semakin menonjolkan karakteristik tersebut. Dalam sistem kerja outsourcing , para pekerja/buruh outsourcing masih mendapatkan potongan dari perusahaan penyedia outsourcing tersebut. Buruh hanya mendapatkan upah pokok sebesar upah minimum setempat tanpa tunjangan lain, sementara perusahaan outsourcing mendapatkan untung karena potongan pendapatan buruh (Arif Puyono : 2012). Menurut penulis ketentuan dalam PP tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja belum mampu mengatur secara komprehensif pengaturan lebih lanjut mengenai perlindungan pekerja/buruh yang diperintahkan. Peraturan Pemerintah tersebut belum mampu menunjukan upaya pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap urusan ketenagakerjaan yang mampu melindungi pekerja/buruh.
Referensi :
Umar Kasim, Aturan Turunan UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan, diakses melalui https://jurnal.hukumonline.com/berita/baca/lt5fe96bf9cbf2d/aturan-turunan-uu-cipta-kerja-klaster-ketenagakerjaan-oleh–umar-kasim?page=3, pada tanggal 9 Maret 2021.
Maulana Wijaya Andy Arya. 2017. Dinamika Ketenagakerjaan di Indonesia : Penghapusan Sistem Outsourching (Kajian Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Jurnal Spirit Publik, Vol 2.
Putu Budhiarta, I Nyoman. 2016. Hukum Outsourching Konsep alih Daya, Bentuk Perlindungan, dan Kepastian Hukum. Malang : Setara Press.
()