Belakangan terakhir ini, ratusan anak dengan mayoritas berusia bawah 5 tahun mengalami gagal ginjal akut progresif atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) akibat mengkonsumsi obat bentuk cair atau sirup yang dijual di apotik secara bebas. Bukan pertama kalinya terjadi, sejak awal tahun 2022, gagal ginjal akut telah menyerang anak-anak, namun kasus yang dilaporkan pada bulan September sampai Oktober 2022 cenderung sangat meningkat drastis tersebar di hampir seluruh provinsi Indonesia. Pernyataan ini diungkapkan oleh Direktur Pelayanan Kesehatan, dr. Yanti Herman, MH. Kes.
Pada dasarnya, obat-obatan berbentuk sirup atau cair tentu mengandung bahan pelarut polietilen glikol atau polietilen oksida yang harus diperiksa batas amannya secara Internasional dan oleh BPOM. Sedangkan bahan pelarut yang tidak diperkenankan penggunaannya terkandung dalam obat-obatan ini berupa zat kimia etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Etilen glikol dan dietilen glikol tidak seyogyanya digunakan oleh manusia, justru umumnya sering digunakan untuk kegiatan industri. Sehingga efek samping yang dirasakan oleh anak-anak memicu rasa sakit kepala, muntah, dan paling parah yaitu gangguan ginjal sebagaimana kasus yang telah terjadi. Kelalaian pengawasan atas bahan yang digunakan dalam obat-obatan ini diduga melebihi ambang batas sebagai penyebab serius naiknya kasus anak gagal ginjal akut progresif atipikal.
Kondisi ini menjadi persoalan serius atas izin peredaran obat bagi masyarakat yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk menghindari kasus serupa terulang kembali. Terutama korban akibat kelalaian peredaran obat ini berasal dari anak-anak yang seharusnya terjamin hak hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Selain itu, aspek perlindungan konsumen pun harus diperhatikan mengingat akses jual beli obat-obatan di apotik bebas dilakukan siapapun, termasuk obat sirup anak tanpa menggunakan resep dokter sekalipun.
Hak Anak
Anak berhak atas kehidupan sejahtera dengan memperoleh kondisi yang layak dan perawatan kesehatan untuk kebutuhan tumbuh kembangnya telah dijamin dalam substansi Hak Asasi Manusia (HAM). Diatur pula dalam Pasal 24 United Nations Convention on the Rights of the Child (UN-CRC) menentukan bahwa anak berhak menikmati status kesehatan tertinggi dan informasi kesehatan kepada orangtua sekalipun untuk memberantas penyakit dan memperkecil angka kematian anak.
Adapun secara konstitusional, hak anak berkaitan dengan jaminan kesehatan terdapat dalam Pasal 28 B ayat (2) UUD NRI 1945 dimana setiap anak berhak atas keberlangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang. Pasal ini berkaitan pula dengan Pasal 28 H ayat (1) UUD NRI 1945 yang menjamin setiap orang memperoleh pelayanan kesehatan dan lingkungan hidup yang sehat. Maka dari itu, dari kedua pasal yang saling berhubungan tersebut, negara wajib memenuhi segala fasilitas kesehatan yang terjamin kelayakan dan keamanannya apabila dikonsumsi oleh anak agar mampu memulihkan kondisi tumbuh kembang di usia produktif. Sumber jaminan kesehatan ini dapat diperoleh dari obat-obatan yang seyogyanya memenuhi kriteria dan syarat ambang batas melalui izin edar yang dikeluarkan oleh BPOM.
Pengawasan BPOM
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) berperan dalam menetapkan standar dan pengawasan terkait peredaran obat, serta menerbitkan izin edar produk sesuai ketentuan mutu dan standar sesuai Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan. Mekanisme pengawasan oleh BPOM dilakukan melalui pre-market control dan post market control terhadap produk beredar di Indonesia sebagaimana persyaratan registrasi produk yang aman dari bahan kimia berbahaya. Namun realitanya, berdasarkan pernyataan Penny K. Lukito, Kepala BPOM, belum ada standar pengawasan terhadap etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) sehingga BPOM terbatas pada menindaklanjuti penanganan melalui penarikan produk yang mengandung bahan-bahan tersebut dari pasaran.
Perlindungan Konsumen
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, dan orang lain yang tidak diperdagangkan kembali. Anak termasuk sebagai konsumen yang memakai atau mengkonsumsi barang obat-obatan diperjualbelikan demi pemulihan kesehatan. Hak anak atas mengkonsumsi obat ialah memperoleh keamanan dan keselamatan saat mengkonsumsi barang sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Maka dari itu, apabila anak tersebut mengalami gangguan kesehatan akibat mengkonsumsi barang, ia berhak atas ganti rugi oleh pelaku usaha. Sedangkan pelaku usaha yang dimaksud tidak serta merta wajib memberikan ganti rugi kepada konsumen karena rantai perjanjian kegiatan usaha dari industri sampai kepada apotek masih perlu ditinjau kembali dari hulu sampai hilir mulai dari perolehan bahan baku obat, proses produksi, sampai distribusi pemasaran.
Pertanggungjawaban Pidana
Pihak yang lalai melaksanakan fungsi dan kewenangannya dikenai Pasal 359 dan 360 KUHP mencangkup kelalaian dan kesalahan menyebabkan kematian orang lain. Pihak yang dimaksud untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya pun secara struktural dilihat dari peran dan fungsi kelembagaannya. Jadi, bentuk kelalaian ini setidak-tidaknya akan melibatkan BPOM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian yang memiliki kewenangan atas pengawasan peredaran obat-obatan. Selain itu, unsur kesengajaan dari pihak yang terbukti dikenai Pasal 338 dan Pasal 340 KUHP ialah pihak murni sengaja mencelakai dan mengancam nyawa orang lain melalui tindakan yang tidak seharusnya. Artinya, menggunakan bahan kimia obat-obatan lain yang dilarang dikonsumsi manusia sehingga mengancam nyawa masyarakat sebagai konsumen.
Apabila menyinggung mengenai persoalan keamanan obat-obatan, maka yang wajib diperhatikan ialah bentuk pengendalian atas pengawasan izin edar barang yang mengandung bahan-bahan tertentu oleh BPOM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian. Sebab, jika ditarik ke belakang siapa yang sengaja mengedarkan bahan baku obat-obatan sirup atau cair ini harus ditelusuri pula dari mana asal perusahaan memperoleh bahan baku tersebut. Hal ini berkaitan dengan akses industri luar negeri yang masuk atau hasil impor ke Indonesia di mana bahan-bahan tersebut setiap negara memiliki kriteria tertentu dalam menetapkan ambang batas aman terhadap obat-obatan bagi manusia. Terutama penetapan atas status bahaya dari bahan kimia etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) belum terdapat standar pengawasan dari BPOM. Tak hanya itu, kelalaian perihal bahan kimia yang digunakan oleh industri obat-obatan perlu memperhatikan sinergitas tanggung jawab antar lembaga negara yang memiliki kewenangan atas pengendalian, pengawasan, perizinan, sampai dengan penegakan hukum. ()