Berbagai polemik dalam masyarakat bermunculan seiring dengan semakin dekatnya Pemilu Indonesia yang akan dilaksanakan secara serempak pada tahun 2024.
Salah satunya karena mantan narapidana kasus korupsi yang diberi celah untuk maju sebagai Calon Legislatif (Caleg) di Pemilu 2024. Kontestasi politik di Indonesia pada Pemilu mendatang bisa jadi akan diramaikan oleh para calon anggota legislatif yang berasal dari mantan koruptor. Hal ini disebabkan tidak adanya larangan khusus dalam Undang-undang Pemilu bagi mantan narapidana kasus korupsi yang ingin mencalonkan diri dalam pemilu Indonesia.
Menanggapi isu hukum tersebut, @advokatkonstitusi menyelenggarakan Webinar Hukum dengan tema “Pemilu Indonesia Open Access Bagi Koruptor, Memajukan Bangsa atau Musibah?” pada Sabtu, 26 Agustus 2023 melalui media zoom meeting.
Webinar ini menghadirkan tiga narasumber yaitu Feri Amsari S.H., M.H., LL.M (Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas), Tohadi, S.H., M.Si (Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang), dan Nurlia Dian Paramitha (Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR)).
Webinar yang dihadiri oleh 245 peserta yang berasal dari kalangan birokrat, praktisi, mahasiswa dan masyarakat umum ini dibuka oleh Fitrah Bukhari selaku founder @advokatkonstitusi dengan mengutip pernyataan viral yang menyebut bahwa “yang punya duit yang berkuasa”.
“Untuk berkuasa dibutuhkan kapital yang tidak sedikit, hubungan duit dengan kuasa dapat diibaratkan seperti lingkaran setan bahwa duit dapat membawa seseorang berkuasa dan seseorang akan sangat mudah menyalahgunakan kekuasaan jika diberikan kuasa dan korupsi sangat erat kaitannya dengan penyalahgunaan yang dilakukan oleh sebagian pejabat publik yang memiliki adab minim, karenanya mengizinkan kembali mantan narapidana korupsi untuk masuk ke gelanggang politik merupakan langkah yang patut dievaluasi,” ungkap Fitrah.
Ia juga menjelaskan tentang riset jumlah responden yang tidak menyetujui mantan narapidana menjadi Caleg.
“Riset yang dilakukan oleh Kompas menyebutkan bahwa 90,9% responden tidak menyetujui mantan narapidana korupsi maju sebagai caleg dalam pemilu. Oleh karena itu, kegiatan ini dilakukan untuk membangkitkan semangat publik akan jaminan kualitas anggota legislatif hasil pemilu 2024,” lanjut founder @advokatkonstitusi tersebut.
Tohadi selaku pembicara pertama pada webinar tersebut memaparkan bahwa “Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK), tahun 2007, setelah 5 tahun dibentuknya KPK, Indonesia menunjukkan skor 2,3 dari 180 negara yang disurvei terdapat 40% berada di bawah skor 3 yang menunjukkan korupsi merajalela dimana Indonesia termasuk salah satunya”.
“Sampai pada tahun 2019, skor IPK/CPI Indonesia naik menjadi 40. Berada pada peringkat 85 dari 180 negara yang disurvei. Hingga Paling terakhir di tahun 2022, IPK/CPI Indonesia merosot 6 poin berada pada skor 34 dengan menempati rangking 110 dari 180 negara yang diukur. Merujuk pada IPK/CPI Indonesia, maka tidaklah dapat dipungkiri suatu kenyataan korupsi masih merajalela” sambungnya.
Kemudian ia juga menjelaskan terkait beberapa Putusan MK No. 112/PUU-XX/2022 yang menafsirkan bahwa korupsi merupakan extra ordinary crime. Tidak hanya itu, terdapat hingga kurang lebih mencapai 16 putusan Mahkamah Konstitusi yang secara tidak langsung telah mengatur mengenai persyaratan terkait dengan terpidana korupsi.
Sejalan dengan apa yang telah disampaikan Tohadi, Feri Amsari selaku pembicara kedua juga memaparkan bahwa, “IPK Indonesia di penghujung periode presiden saat ini anjlok 6 Poin. Hal ini menjelaskan berbagai hal diputuskan secara terburu-buru tanpa mempertimbangkan aspirasi publik Pemilu sebentar lagi. Sementara menjelang tahun 2024 tingkat kesadaran publik untuk melindungi nilai-nilai demokrasi juga mengalami penurunan” paparnya.
Nurlia Dian Paramitha selaku Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) memberikan tanggapan secara umum mengenai topik yang berkaitan dengan open accesss terkait pemberian kesempatan kepada para koruptor yang akan mencalonkan diri dalam pemilu 2024.
“Terkait dengan kondisi pemilu saat ini dan terkait putusan-putusan konstitusi yang sangat berkaitan dengan bagaimana cara memperpanjang nafas republik Indonesia. Bahasa memperpanjang nafas yang digunakan ini dikarenakan terdapat banyak kecurangan yang sudah sistematis muncul dan menjadi PR untuk mengawal pemilu ke depan. Kondisi pemilu kita saat ini yang akan berlangsung di 2024 menjadi proses yang panjang antara lain mulai dari penundaan pemilu, soal wacana kampanye” jelas Nulia.
Tidak hanya dari isu yang terjadi, ia turut menjelaskan terkait bentuk ruang partisipasi masyarakat dalam pemilu.
“Masyarakat dalam pemilu memiliki ruang partisipasi yang berada dalam pasal 448 ayat (2) dan ayat (3) yang kemudian bentuk partisipasi masyarakat dilakukan dengan ketentuan tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu” lanjutnya.
“Tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan pemilu, bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas. Mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar. bentuk ruang partisipasi masyarakat dalam pemilu dapat berwujud sosialisasi pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jaj pendapat tentang pemilu, dan perhitungan cepat hasil pemilu” tutupnya. ()