Merancang Gagasan, Menjawab Disharmonisasi Hukum: Adendum

Oleh: Joshua

(Content Creator Advokat Konstitusi)

Hukum sebagai bentuk kontrak sosial antara negara dengan rakyat yang menjadi warganegara tentunya perlu disusun dan diedarkan secara luas agar dapat diketahui oleh masyarakat. Hal tersebut dilandasi beberapa alasan yang berasal dari aspek filosofis, yuridis, serta sosiologis. Pertama, secara filosofis, rakyat perlu mengetahui hukum yang berlaku karena pada dasarnya, kekuasaan negara melalui organ pembentuk hukum merupakan salah satu bentuk dari kontrak rakyat dan negara. Saat pendirian negara ataupun (jika kita persempit) saat Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif (yang pada hakikatnya adalah memilih sosok yang akan membentuk hukum), merupakan sebuah peristiwa dimana masyarakat dianggap menyerahkan separuh dari kemerdekaannya untuk diatur oleh negara. Namun tentunya perlu dasar tertulis yang diketahui rakyat mengenai apa yang diatur, mengapa diatur, bagaimana pengaturannya, serta sejenisnya. Dari hal itulah masyarakat mengetahui apa isi “kontraknya” tersebut.

Kedua, secara yuridis, sudah merupakaan amanat dari berbagai peraturan perundang-undangan untuk membuka selebar-lebarnya akses masyarakat terhadap produk hukum. Pasal 5 huruf G Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengamantkan adanya keterbukaan dalam setiap proses yang terjadi terhadap sebuah undang-undang, dari perencanaan hingga pengundangan. Ada pula Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2012 tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional yang menjamin adanya akses atas dokumen hukum demi berbagai kepentingan yang ada. Terakhir, yang ketiga, secara sosiologis masyarakat perlu mengetahui hukum tersebut tidak lain dan tidak bukan ialah untuk meneruskan kehidupannya. Jika merujuk kepada tiga kaedah hukum, maka berbagai peraturan dapat menunjukan apa yang dianjurkan (gebod), apa yang dilarang (verbod), dan apa yang dibolehkan (mogen) untuk dilakukan oleh masyarakat.

Tuntutan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan segala pemangku kepentingan akan akses terhadap produk hukum baik secara filosofis, yuridis, dan sosiologis membutuhkan sebuah metode penunjang yang baik dan benar agar mampu menjawab persoalan tersebut. Digitalisasi adalah kunci, namun bukan satu-satunya. Ada beberapa hal lain yang harus diterapkan bersamaan dengan digitalisasi tersebut: Pemuatan Undang-Undang secara adendum antara hukum yang lama dengan yang terbaru. Adendum disini dapat diartikan sebagai perubahan suatu undang-undang dengan penambahan, perubahan, dan/atau penghapusan pasal yang`dibuat secara tertulis yang secara fisik terpisah dari undang-undang sebelumnya ,namun secara hukum melekat pada perundang-undang sebelumnya.

Pertanyaannya mengapa perlu dilakukan? Hal itu tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memudahkan upaya sinkronisasi antara peraturan satu dengan yang lainnya. Dalam konteks lain, sebuah undang-undang yang berlaku di tingkat nasional memiliki derivasi di tingkat daerah. Namun ketika undang-undang tersebut berubah, baik karena diubah dengan sengaja dan/atau dinyatakan tidak mengikat oleh Mahkamah Konstitusi, peraturan daerah di bawahnya tidak ikut diubah sesegera mungkin sehingga menjadi disharmoni. Tidak mengherankan jika pada tahun 2016, Kementerian Dalam Negeri mengumumkan 3.143 Peraturan Daerah (Perda) yang dibatalkan. Hal itu tidak hanya berlaku bagi peraturan daerah, namun banyak peraturan lainnya, termasuk perjanjian antar individu. Dengan adanya metode adendum yang diterapkan bersamaan dengan digitalisasi jaringan dokumentasi dan informasi hukum tersebut, maka diharapkan dapat terjadi sinkronisasi hukum secara nasional.

Selain itu yang penting untuk diingat, bahwa tulisan ini tidak hanya digagas untuk undang-undang yang telah melewati proses pengundangan saja, namun juga untuk undang-undang yang masih dalam proses pembahasan, bahkan termasuk naskah akademik dari sebuah rancangan undang-undang. Hal tersebut tidak lain dan tidak bukan  demi menunjang salah satu poin dari UU PUU yaitu dengan adanya keharusan penyebarluasan undang-undang ataupun rancangan undang-undang sejak penyusunan Prolegnas hingga pengundangan sebagaimana ketentuan Pasal 88 UU PUU. Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh redaksi Detik.com terhadap Amzulian Rifai selaku Ketua Ombudsman periode 2016-2020, Amzulian pernah menyatakan bahwa ketika akuntabilitas penyelenggaraan negara itu terjamin, maka potensi penyalahgunaan wewenang akan mengecil. Hal itulah yang saya yakini mengapa metode adendum itu harus diberlakukan dengan dimuat dalam revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

 

  ()