Avany Mahmudah
(Internship Advokat Konstitusi)
Secara filosofis Dewan Perwakilan Daerah atau DPD merupakan Lembaga negara yang dibentuk untuk menggantikan Utusan Daerah dan Utusan Golongan dalam komposisi MPR, dimana anggota DPD dipilih melalui pemilu langsung dan tidak ditunjuk sebagaimana utusan yang terdahulu. Sehingga tuntutan demokratisasi pengisian anggota Lembaga negara dengan pemilihan langsung dapat diwujudkan.
Sri Soemantri Martosoewignjo dan Mochamad Isnaeni Ramadhan menyatakan bahwa pembentukan DPD tidak lepas dari 2 hal yaitu: adanya tuntutan demokratisasi pengisian anggota lembaga agar selalu mengikutsertakan rakyat pemilih. Kemudian karena adanya tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah yang jika tidak dikendalikan dengan baik akan berujung pada tuntutan separatisme. DPD dibentuk sebagai representasi kepentingan rakyat di daerah. Utusan golongan sendiri dihapus karena penentuannya dianggap menyulitkan demokrasi, serta utusan golongan dianggap sudah dapat disalurkan dan diwadahi melalui keberadaan dari DPD.
Melihat itu, arah baru desain kinerja kelembagaan DPD RI sebagai representasi rakyat dan daerah dapat diimplementasikan dengan optimalisasi atau memperkuat kedudukan DPD melalui penguatan kewenangan melalui teori path dependency yang maknanya path dependence menurut W. Esteerly adalah satu alat analisis yang menjelaskan mengapa satu negara berhasil dan negara lain gagal berdasarkan pada konteks sejarahnya. Konteks disini menunjukan bahwa selalu ada jalur tertentu yang diikuti dan hampir tidak bisa dirubah. Konteks sejarah yang terjadi di masa lalu akan berpengaruh terhadap apa yang akan terjadi dimasa depan.
Secara lebih umum path dependence menjelaskan bahwa keadaan yang terjadi saat ini dan yang akan datang di suatu negara, baik suatu aksi atau keputusan politik, dipengaruhi oleh aksi dan keputusan politik yang diambil negara tersebut di masa lampau. Pendapat terkait dengan sejarah yang mempengaruhi masa depan, menurut Pierson adalah konsep yang penting di dalam explanning perubahan institusi. Dari teori path dependence tersebut maka dapat ditarik garis merah bahwa peluang untuk memperkuat DPD dapat dilihat dari bagaimana DPD dulu ada dan bagaimana keputusan diambil sehingga struktur yang ada tersebut memberikan kewenangan yang terbatas bagi DPD sebagai salah satu parlemen (kamar kedua).
DPD lahir dari amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001 yang merubah utusan daerah dan golongan menjadi lembaga perwakilan baru yaitu DPD. Sejak saat itu DPD menjadi parlemen kamar kedua di Indonesia. Selain melahirkan DPD, amandemen ketiga juga telah diputuskan terkait kewenangan limitatif yang dimiliki oleh DPD RI sebagaimana dijelaskan dalam pasal 22D. Sedangkan dalam amandemen keempat diputuskan terkait kedudukan anggota DPD sebagai anggota MPR. Selain itu, diputuskan terkait perubahan komposisi MPR yang dulu terdiri dari anggota DPR, utusan-utusan dari daerah dan utusan-utusan golongan (pasal 2 UUD 1945 asli), menjadi hanya anggota DPR dan anggota DPD (pasal 2 UUD 1945 amandemen keempat). Kewenangan MPR diatur dalam amandemen ketiga, yang menghasilkan perubahan yaitu hilangnya kewenangan MPR untuk menyusun GBHN dan kewenangan untuk mengangkat presiden/ wakil presiden.
Secara umum, perbedaan antara DPD dan DPRD adalah sebagai berikut:
- DPD sebagai lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara yang dipilih melalui pemilihan umum dan memiliki tugas dan wewenang diantaranya mengajukan rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR serta melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah.
- DPRD provinsi sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah provinsi yang memiliki tugas dan kewenangan diantaranya adalah membentuk peraturan daerah provinsi bersama gubernur, membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh gubernur serta mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian.
Kedudukan DPD sebagai lembaga legislatif dalam rangka pembentukan Undang-Undang menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah terbatas baik dilihat dari bentuk kelembagaan maupun dilihat dari lingkup kewenangannya. Pembatasan terhadap lingkup kewenangan, yaitu hanya terhadap rancangan undang-undang tertentu yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan daerah dimungkinkan untuk dilakukan mengingat Dewan Perwakilan Daerah merupakan wakil-wakil daerah dalam rangka menjamin aspirasi dan kepentingan daerah, sehingga perlu dibatasi lingkup kewenangannya hanya terhadap rancangan undang-undang tertentu tersebut
Selanjutnya, sejak diamandemennya UUD 1945 ketiga, praktis bahwa Indonesia sejak itu telah menganut sistem bikameral, yaitu DPR yang memperjuangkan kepentingan rakyat disatu sisi dan DPD memperjuangkan kepentingan daerah disisi lain. Tetapi pengakuan bikameral tidak kunjung hadir baik pada tingkat nasional (khususnya DPR). Tidak adanya pengakuan ini dikarenakan DPD sebagai wakil daerah di kamar kedua dalam sistem bikameral tidak memiliki hak suara atau kewenangan untuk mengambil keputusan.
Penguatan fungsi dan peran DPD di Indonesia dapat dilaksanakan dengan kesinergisan kewenangan dan tugas DPD, pengoptimalisasian mengenai hak-hak dan ranah DPD, serta penguatan kewenangan melalui teori path dependency. Dalam amandemen telah dirubah yang mulanya utusan daerah dan golongan menjadi DPD sebagai penguatan DPD untuk memperjuangkan kepentingan dan mensejahterakan daerah. Namun disayangkan bahwa fungsi legislasi hanya diberikan kepada DPR. Kewenangan yang dimiliki oleh DPD sangat terbatas dan tidak otoritatif. Sehingga DPD hanya menjadi subordinat dari DPR dan tidak berbeda dengan LSM.
()