Pembentukkan Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja Sebagai Sistem Penunjang Penyederhanaan Perizinan Tanah

Oleh : Maria Fransisca Prasetya 

Alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebagai dasar konstitusi negara menegaskan bahwa tujuan pendirian Negara Republik Indonesia ialah untuk menyejahterakan seluruh rakyat tanpa terkecuali, yang tidak lain guna mewujudkan suatu negara kesejahteraan (welfare state). Guna menjalankan amanat tersebut, ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Atas ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut, pengaturan selanjutnya diwujudkan dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Namun, jauh sebelum dibentuknya UUPA Moh.Hatta pada pidatonya tahun 1946 mengatakan bahwa pada prinsipnya tanah adalah milik rakyat Indonesia dan harus dipandang sebagai alat atau faktor produksi untuk kemakmuran bersama, bukan untuk kepentingan orang perorangan yang berujung pada terjadinya akumulasi penguasaan tanah pada segelintir/kelompok masyarakat tertentu.

Pada kenyataannya, pelaksanaan daripada pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dalam pertanahan di Indonesia tidak berjalan sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD. Hal ini dibuktikan bahwa penguasaan lahan di Indonesia belum sepenuhnya dikuasai oleh negara yang terbukti bahwa keberadaan tanah terlantar hingga kini masih menjadi suatu persoalan pelik padahal, UUD 1945 sebagai konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai turunannya, tidak memungkinkan terjadinya tanah terlantar di Indonesia. Berdasarkan hasil identifikasi BPN pada 2011, terdapat sekitar 7,3 juta hektar tanah di Indonesia yang terindikasi terlantar. Tanah yang terindikasi tanah terlantar adalah tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya yang belum dilakukan identifikasi dan penelitian. Luasnya tanah yang terlantar menjadikan hilangnya potensi ekonomi dan sosial dari tanah itu sendiri sehingga keadilan tidak dapat tercapai. 

Sejalan sebagaimana pendapat Eni Herawati yang mengatakan bahwa pemanfaatan tanah secara maksimal merupakan faktor sentral dalam pembangunan hukum tanah nasional. Hal ini menjadi suatu urgensi dilakukannya penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar oleh pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan rakyat Hal ini mengingat bahwa kebutuhan terhadap tanah semakin lama semakin besar baik dalam bidang pemukiman maupun investasi. Berbicara dalam konteks investasi, salah satu permasalahan rendahnya minat investor untuk menanamkan sahamnya di Indonesia adalah masalah perizinan yang rumit dan terbatasnya lahan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan pembebasan tanah selalu menjadi kendala bagi investor yang ingin membuka usaha sehingga seharusnya tanah untuk investasi sudah disiapkan bagi para investor. Dengan banyaknya tanah terlantar sebagai indikasi tidak dikuasainya tanah secara keseluruhan oleh pemerintah dalam tugasnya menghimpun tanah membawa persoalan lain dimana mengakibatkan pemerintah tidak dapat menjalankan reforma agraria secara konsekuen sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam memenuhi kebutuhan dasar serta pendayagunaan tanah oleh masyarakat berpenghasilan rendah guna meningkatkan perekonomian masyarakat itu sendiri. 

 

Latar belakang dibentuknya Bank Tanah adalah dengan mengacu Pasal 9, ayat (3), dan Pasal 15, ayat (i) PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, melalui peraturan tersebut terlihat bahwa negara memiliki kewenangan untuk melakukan pencadangan tanah. Perlu digaris bawahi bahwa Bank Tanah yang dikelola oleh negara berbeda dengan Bank Tanah yang dikelola swasta bahwa negara dalam melakukan pencadangan tanah dan memanfaatkan tanah yang dikuasainya tidak terikat waktu karena pada akhirnya setiap bidang tanah yang dikuasai negara akan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945. 

Praktik pencadangan tanah atau dikenal dengan istilah Bank Tanah, dan di Indonesia secara luas dilakukan oleh badan swasta dan juga pemerintah yang diwakili BUMN dan BUMD. Menjadi problematika adalah entitas badan hukum yang mewakili negara secara khusus untuk melakukan pencadangan tanah, atau Bank Tanah itu sendiri, justru belum dimiliki oleh Indonesia. Apalagi dengan dengan diterbitkannya UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, negara memiliki kewenangan untuk melepaskan hak penduduk atas bidang tanah yang diperlukan guna pembangunan bagi kepentingan umum, dengan syarat kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah. Melihat berbagai kepentingan yang ada, sudah seharusnya Indonesia memiliki institusi Bank Tanah yang merupakan badan hukum yang mewakili negara dalam melakukan pencadangan tanah dengan tujuan menyediakan lahan pembangunan guna kepentingan umum sehingga rencana pembangunan oleh pemerintah dan swasta tidak terhambat. 

Pencadangan tanah ini diharapkan mampu menjadi solusi atas kurangnya ketersediaan lahan yang dikuasai pemerintah dalam hal meningkatkan pembangunan infrastruktur guna menciptakan iklim investasi. Hal ini dikarenakan dalam pembangunan infrastruktur seringkali terkendala dalam pengadaan tanah sehingga pelaksanaan pembangunan tidak dapat dijalankan. Padahal, ketersediaan infrastruktur dalam suatu Negara menjadi salah satu daya tarik investor dalam melakukan penanaman modal. Selain guna membangun infrastruktur, penguasaan tanah oleh Negara dapat berdampak baik terhadap kemudahan investor dalam mendapatkan lahan dan sewa yang murah dari pemerintah sehingga mempercepat laju investasi

Secara konseptual, Bank Tanah memiliki enam fungsi utama yaitu penghimpun tanah (land keeper); sebagai pengaman tanah (land warrantee); sebagai pengendali penguasaan tanah (land purchase); sebagai pengelola tanah (land management); sebagai penilaitanah (land appraisal); dan sebagai penyalur tanah (land distributor). Kegiatan Bank Tanah harus memuat kebijakan dan strategi optimalisasi pemanfaatan dan penggunaan tanah. Pada praktiknya, Bank Tanah harus bisa menjadi instrumen utama dalam mencegah terjadinya spekulasi harga tanah, di situ perlu ditetapkan bahwa secara falsafah Bank Tanah tidak diperbolehkan mendapat untung dari selisih harga penjualan tanah yang dimilikinya. 

Adanya pengaturan Bank Tanah harus berpedoman pada prinsip keadilan sosial serta diwujudkan untuk pembangunan bagi kepentingan umum. Menjadi penting bahwa Bank Tanah, hanya boleh dilakukan oleh organisasi badan hukum yang mewakili negara dan tidak boleh dilakukan swasta agar tidak ada monopoli tanah. Oleh karena permasalahan-permasalahn tersebut, menjadi suatu landasan pemerintah membuat suatu terobosan dalam bidang pertanahan dengan membentuk Bank Tanah yang pengaturannya dituangkan bagian keempat dalam pasal 125-135 Undang-Undang Cipta Kerja yang tidak lain guna memfasilitasi investasi dan kepentingan sosial masyarakat. 

 

DAFTAR PUSTAKA

Bernhard Limbong, 2013, Bank Tanah, Jakarta, Margaretha Pustaka.

Herawati, Eni, 2017, Tanah Terlantar dan Tanah Absentee, Universitas Bina Nusantara, , diakses pada tanggal 20 Februari 2021, <http://business-law.binus.ac.id/2017/01/30/tanah-terlantar-dan-tanah-absentee/>.

Suhendar, endang dan Ifdhal Kasim, 1996, Tanah sebagai komoditas, kajian kritis atas kebijakan pertanahan orde baru, Jakarta, Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM).

  ()