Oleh: Rafaella Winarta
Januari 2023, publik Indonesia dikejutkan dengan kasus keracunan pestisida di Bekasi yang menyebabkan tewasnya 3 orang. Belakangan terungkap bahwa lingkup kasus tersebut di luar dugaan dari sebelumnya ditetapkan. Wowon, tersangka utama dalam kasus keracunan di Bekasi tersebut belakangan diketahui telah membunuh 6 orang lain di Cianjur dan Garut bersama dua tersangka lainnya, Solihin dan M Dede Solehudin yang dilancarkan dengan modus memiliki kemampuan supranatural untuk memperkaya korban. Bertambahnya jumlah korban jiwa dalam pembunuhan tersebut naik tingkat sebagai pembunuhan berantai.
Apa yang menetapkan suatu pembunuhan sebagai ‘berantai’?
Menurut Behavioral Analysis Unit (BAU) FBI, pembunuhan berantai dapat didefinisikan sebagai dua atau lebih tindak pembunuhan dengan waktu yang berbeda oleh pelaku atau para pelaku yang sama dengan suatu motif atau demografis yang sama. Faktor waktu tersebut merupakan variabel pembeda antara pembunuhan berantai dan pembunuhan massal. Pembunuhan berantai terjadi dalam waktu yang berbeda terhadap lebih dari dua korban sedangkan pembunuhan massal merupakan pembunuhan terhadap jumlah korban yang tinggi di suatu lokasi secara bersamaan. Pembeda lainnya, pembunuhan massal biasanya berakhir dengan tewasnya pelaku baik akibat perlawanan dengan kepolisian atau pun oleh diri sendiri.
Menurut BAU, cooling period atau jarak waktu antar satu pembunuhan dan lainnya juga dapat menjadi salah satu karakteristik unik bagi pelaku. Dalam kasus Bekasi-Cianjur saat ini, cooling period dapat dilihat dari jarak kematian korban di Cianjur dan Bekasi dimana polisi menemukan salah satu korban yang juga mantan istri salah satu tersangka (Wowon) yang dibunuh pada tahun 2016.
Penerapan hukum pidana dalam pembunuhan berantai
Pada umumnya, pembunuhan termasuk dalam kejahatan terhadap nyawa dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan pidana penjara maksimal 15 tahun bagi pembunuhan dalam Pasal 338. Pembunuhan berantai yang biasanya dilengkapi dengan motif, rencana, serta target dapat dijatuhi pidana penjara 20 tahun, seumur hidup atau pidana mati dalam Pasal 340 KUHP. Namun dalam pemidanaannya, kasus pembunuhan berantai sering kali diterpa dugaan gangguan jiwa pada pelakunya. Dalam hukum positif Indonesia, dugaan adanya gangguan kejiwaan merupakan faktor penentu dalam pelaksanaan pertanggungjawaban pidana. Pasalnya dalam KUHP diatur suatu alasan pemaaf dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP yang mengatur bahwa seorang dengan kejiwaan yang cacat atas perbuatannya tidak dapat dipidana.
Menurut Utrecht, pertanggungjawaban pidana dengan faktor kejiwaan dapat dilihat dalam dua pengamatan yang berbeda yaitu terhadap keadaan jiwa dan kemampuan jiwa. Seorang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana jika keadaan jiwanya tidak memiliki penyakit permanen ataupun sementara, tidak memiliki kelainan dalam pertumbuhan, dan tidak berada dalam keadaaan di luar kesadaran. Sedangkan dari sisi kemampuan jiwa, seseorang dapat dipidana jika paham atas perbuatannya, dapat menentukan niatnya sendiri, dan mengetahui akibat perbuatan tersebut.
Bagi masyarakat awam, faktor gangguan jiwa dalam pembunuhan berantai merupakan suatu hal yang saling berkaitan. Jumlah korban yang tidak sedikit hingga kekejian metode yang digunakan dalam pembunuhan tersebut sering kali disebut sebagai seseorang yang gila dan kejam atau psikopat. Namun, menurut John Dussich dalam artikelnya “A Psychopath Does Not Worth the Death Sentence”, dijelaskan bahwa psikopat sebagai suatu gangguan personalitas atau kepribadian dan tindakan psikotik merupakan dua hal yang berbeda. Seseorang yang disebut sebagai psikopat dalam lingkup psikiatris personalitas tidak serta merta kehilangan kemampuan untuk bertindak secara rasional.
Dalam praktiknya, pihak kepolisian akan berkerjasama dengan ahli kejiwaan untuk melakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap pelaku pembunuhan. Di Indonesia, perdebatan pertanggungjawaban pidana terhadap pembunuhan berantai sudah terjadi sebelumnya. Dalam kasus mutilasi oleh Very Idam Henyansyah atau Ryan Jombang, gangguan kejiwaan menjadi alasan langkah peninjauan kembali (PK) yang diambil untuk menghindari hukuman mati. Namun, PK ditolak dengan pertimbangan temuan observasi ahli kejiwaan yang menyatakan bahwa Ryan hanya mengidap kelainan kepribadian seperti pengendalian emosi dan sosial. Pertanggungjawaban pidana tersebut dapat diterapkan dengan tidak ditemukannya gangguan orientasi ruang dan waktu, daya ingat serta logika dan tidak adanya halusinasi dan delusi. ()