Oleh: Bagas Wahyu Nursanto
(Internship Advokat Konstitusi)
Perubahan UUD 1945 Dalam Fungsi Legislasi
Sebagai Negara hukum modern Indonesia telah mengalami perubahan berbagai macam sistem pemerintahan yang terkonfigurasi dalam setiap konstitusi. Menurut Sri Soemantri Konstitusi yang dihasilkan oleh pendiri Bangsa mengandung karakter sistem pemerintahan presidensial dan parlementer (Soemantri, 1976:52-53). Untuk itu perubahan konstitusi terbaru (amandemen UUD 1945 1999-2002) sepakat untuk mempertahankan sistem presidensial dengan basis melakukan pemurnian sistem pemerintahan presidensial terkhusus pula mengenai proses legislasi.
Mengenai Proses legislasi tersebut dapat ditinjau dari adanya perubahan pada Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang sebelum perubahan berbunyi Presiden memgang kekuasaan mebentuk uu dengan persetujuan DPR diubah menjadi “Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR”. Kemudian perubahan pada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang semula berbunyi “tiap-tiap UU menghendaki persetujuan DPR” menjadi “DPR mempunyai kekuasaan membentuk UU”. Terdapat peralihan kekuasaan legislasi yang semula ditangan Presiden beralih ke DPR. Membandingkan dua ketentuan ini banyak kalangan berpendapat DPR menjadi lebih kuat dalam penggunaan fungsi legislasi (Lindsey, 2002:3).
Namun, dengan hadirnya perubahan Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan setiap RUU dibahas DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama tidak berarti DPR lebih kuat dari Presiden dalam fungsi legislasi. Dengan diadopsinya “persetujuan bersama” maka fungsi legislasi di Indonesia dalam sistem presidensial mengakibatkan adanya “ultimate authority” yang seharusnya hanya dimiliki oleh Legislatif (DPR dan DPD). Maka sejatinya dalam desain sistem pemerintahan presidensial penglibatan presiden yang jauh dalam pembentukan UU berpotensi menambah ketegangan eksekutif dan legislatif. Terlebih frasa pembahasan dan persetujuan bersama merupakan model legislasi yang lazimnya dipraktikkan dalam sistem parlementer (Saldi, 2018:16).
Lebih lanjut, dengan adanya frasa “dibahas bersama” dan “persetujuan bersama” menegaskan fungsi legislasi setelah perubahan UUD 1945 tidak memisahkan secara jelas antara cabang eksekutif dan legislatif. Polemik semakin komplit manakala kehadiran DPD sebagai salah satu lembaga legislatif tidak memiliki kedudukan yang seimbang seperti halnya DPR. Munculnya Pasal 22 D ayat (1) dan (2) UUD 1945 perubahan menegaskan fungsi legislasi DPD dalam mengajukan RUU kepada DPR dan membahas RUU tentang kedaerahan. Namun, ironi manakala dalam konstitusi pula pada Pasal 20 A ayat (1) UUD 1945 menyatakan fungsi legislasi hanya dimiliki oleh DPR.
Sungguh sebagai lembaga legislatif fungsi legislasi DPD sangat terbatas dan tergantung kepada DPR yang pada akhirnya hanya menjadi monopoli DPR. Bahkan hadirnya putusan MK No. 92/PUU-X/2012 belum mampu menguatkan fungsi legislasi DPD. Sejatinya tujuan awal perubahan UUD 1945 yakni memurnikan sistem presidensial tidak terjadi dalam fungsi legislasi.
Menata Ulang Fungsi Legislasi
Jelas sekali memang perubahan UUD 1945 menegaskan kewenangan dalam hal fungsi legislasi melekat pada DPR dan Presiden. Padahal dalam sistem presidensil penekanannya adalah adanya pemisahan kekuasaan yang jelas antara pemegang kekuasaan legislatif dengan pemegang kekuasaan eksekutif. Dalam pemahaman tersebut, Bagir Manan menyatakan bahwa perubahan Pasal 20 UUD 1945 tidak terjadi pemisahan kekuasaan (separation of power) antara DPR dan Presiden dalam membentuk undang-undang. Yang sesungguhnya terjadi adalah pembagian kekuasaan (distribution of power) dan mencerminkan kekuasaan membentuk undang-undang dilakukan bersama-sama oleh DPR dan Presiden (Bagir, 2003:22). Untuk itu untuk menegaskan pemisahan kekuasaan dalam fungsi legislasi pada sistem presidensial Penulis akan mencoba menata kembali fungsi legislasi di Indonesia dengan ilustrasi sederhana sebagai berikut :
Merujuk pada konstitusi di beberapa Negara yang menerapkan sistem presidensil seperti Indonesia tidak secara eksplisit mencantumkan bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang seperti pada Artice I Section I Konstitusi Amerika Serikat, RUU dapat diajukan secara penuh oleh Legislatif in casu DPR dan DPD. Keikutsertaan presiden baru muncul setelah RUU dibahas dan disetujui oleh DPR dan DPD (Contoh pasal 211 Konstitusi Venezuela). Kemudian kemunculan forum konsultatif juga sangat dibutuhkan agar mengurangi undang-undang yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tidak menutup kemungkinan Lembaga Yudikatif seperti Mahkamah Konstitusi. Hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman substansi pengaturan dalam suatu uu yang telah diputus Mahkamah Konstitusi dinyatakan tidak konstitusional untuk tidak kembali muncul dengan wujud uu baru.
Dengan merujuk kepada konstitusi Amerika Serikat, Filipina, Venezuela, Korea Selatan, dan Argentina, presiden diberikan hak veto atas RUU yang telah disetujui lembaga legislatif. John H. Garvey dan Alexander Aleinikoff dalam bukunya “modern Constitutional Theory” menjelaskan bahwa tujuan utama memberikan hak veto kepada presiden adalah untuk melindungi presiden dan kekuasaan eksekutif dari penggerogotan yang dilakukan lembaga legislatif dan kemungkinan adanya undang-undang yang tidak layak (improper law). Namun, hak veto tersebut dapat ditolak dengan jumlah dukungan suara tertentu oleh DPR dan DPD (veto Overriden). Untuk mewujudkan penataan fungsi legislasi sebagai jalan konstitusional tersebut meneruskan perjuangan perubahan UUD 1945 menjadi sebuah keharusan yang tak terhindarkan.
Referensi
- Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH- UII Press, Yogyakarta, 2003.
- Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Rajawali Pers, Depok, 2018.
- Sri Soemantri, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-negara Asean, Tarsito, Bandung, 1976.
- Tim Lindsey, Indonesian Constitutional Reform: Muddling Towards Democracy, Singapore Journal of International and Comparative Law 244 (6 Sing. J. Int’l & Comp. L. 24), 2002.
()