Peninjauan Teori Gustav Radbruch terhadap Pelanggaran UU ITE dalam Membatasi Perlindungan Kebebasan Berpendapat

Oleh: Salsabila Rahma Az Zahro

(Internship Advokat Konstitusi)

Berdasarkan Pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia alinea ke empat, berbunyi “Melindungi setiap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Sehubungan dengan itu, hal-hal yang wajib dilindungi yaitu semua komponen pembentuk bangsa. Parameter warga negara sudah terlindungi bila hak-hak mereka sudah terpenuhi sesuai dengan hukum negara, seperti hak kebebasan berpendapat. Kebebasan menyampaikan pendapat merupakan hak asasi yang dimiliki oleh warga negara dan hak konstitusional yang dijamin oleh negara. Jaminan perlindungan hak kebebasan menyampaikan pendapat secara spesifik disebutkan dalam perubahan keempat UUD NRI 1945 Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” Kemudian penafsiran ini, memiliki makna yang sama dengan Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum “kemerdekaan menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.” 

Saat ini kemajuan teknologi dan informasi berkembang sangat pesat. Adanya internet memungkinkan setiap orang mudah mengakses informasi dan menciptakan jaringan komunikasi antar belahan dunia sekalipun. Kemajuan teknologi ini mempunyai dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya, masyarakat bisa memperoleh informasi dari internet, meningkatkan perkembangan ekonomi suatu negara, dan keperluan lainnya. Sedangkan, dampak negatifnya yaitu membuka peluang terjadinya penipuan, merusak moral bangsa melalui situs situs negatif, dan jika disalahgunakan maka akan menimbulkan perpecahan dan sebagainya. 

Kebebasan menggunakan internet memerlukan sebuah pondasi agar bisa lebih bijak menggunakan internet. Maka dari itu, Pemerintah Republik Indonesia dan DPR membuat  UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk mengantisipasi kemungkinan buruk yang dapat ditimbulkan oleh internet. Tetapi, keberadaan UU ini dipandang membatasi kebebasan berekspresi karena dalam ketentuannya pada Pasal 27 Ayat (3) yang mengatur tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sering dianggap sebagai penyebab orang memilih bungkam atas kondisi sosial politik yang ada di masyarakat. Dalam kurun 2016-2020, UU ITE dengan pasal karetnya yaitu pasal 27 Ayat (3) telah menimbulkan tingkat penghukuman atau conviction rate mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan sangat tinggi, mencapai 88% (676 perkara), menurut data yang dihimpun koalisi masyarakat sipil. Hal ini membuat masyarakat menjadi takut untuk bersuara mengenai ketidakadilan di sekelilingnya dan bersuara terhadap pelanggaran yang dilakukan penguasa karena khawatir dianggap penghinaan atau pencemaran nama baik. Walaupun sudah adanya revisi terhadap UU ini tetapi masih tetap dinilai oleh banyak pihak membatasi kebebasan berpendapat yang bertentang dengan hakekat kebebasan berpendapat yang dijamin Pasal 28 UUD NRI 1945. Dengan adanya UU ITE ini menimbulkan banyak kontroversi yang ditimbulkan oleh masyarakat. 

Berdasarkan kenyataan yang terjadi saat ini, UU ITE melanggar dari teori Gustav Radbruch yang terdiri dari Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan Hukum. Pertama, Keadilan menjadi landasan terciptanya hukum positif dan menjadi alat pembenar kesewenang-wenangan mayoritas terhadap minoritas. Dalam UU ITE mengandung banyak ambiguitas dalam penulisan pasalnya, sehingga dalam penerapannya sering terjadi ketidaktepatan yang berujung banyak korban yang dihukum tidak adil. Seperti, Kasus Prita Mulyasari yang menuliskan surat elektronik tentang ketidakpuasannya saat menjalani pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Omni Internasional. Kemudian, pihak Rumah merasa dicemarkan nama baiknnya hingga Prita dilaporkan ke polisi dan dijerat Pasal 45 Ayat (1) jo. Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tidak dijelaskan secara rinci dan jelas sehingga banyak penerapan pasal terserbut dinilai tidak tepat.

Kedua, kemanfaatan hukum pada zaman modern ini menggunakan keadilan restoratif yang merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, Korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Namun kenyataannya, pada kasus Baiq Nuril yang dijerat UU ITE dalam putusan hakimnya tidak dapat mewujudkan kemanfaatan hukum. Baiq Nurul merupakan korban pelecehan seksual oleh atasannya yang menceritakan aktivitas seksual nya. Kemudian, Baiq Nurul merekam percakapan tersebut sebagai bukti pelecehan seksual oleh atasannya tetapi menyebabkan masalah kepada Baiq Nurul yang dituduh mengirimkan rekaman tersebut, tetapi yang sebenarnya dia tidak mengirimkan rekaman tersebut. Dia dijerat Pasal 27 Ayat (1) UU ITE. 

Ketiga, kepastian hukum selaras dengan pelaksanaan tata kehidupan yang dalam implementasinya jelas dan konsisten tetapi di dalam Pasal 27 UU ITE Ayat 1 yang tidak memiliki tolak ukur yang jelas, sehingga UU ITE ini sering digunakan oleh orang-orang yang lebih kuat untuk menyerang pihak yang lemah. Hal ini menyebutkan bahwa UU ITE dalam penerapannya melanggar teori yang dibuat Gustav Radbuch. Selain menurut teori hukum Gustav Radbuch, UU ITE juga menimbulkan banyak laporan pidana yang masuk ke kepolisian.

Berdasarkan data yang dihimpun Southeast Asia Freedom of Expression Network sebagai sebuah organisasi nirlaba yang mendorong kebebasan berekspresi dan berpendapat, bahwa sejak 2014, hingga kini ada lebih 150-an laporan pidana UU ITE ke kepolisian. Kemudian, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada tahun 2019 sebesar 74,92 poin atau mengalami kenaikan sebesar 2,53 dibanding tahun sebelumnya. Namun, dalam data tersebut, kebebasan sipil mengalami penurunan sebanyak 1,26 poin. Maka dari itu, dari permasalahan indeks demokrasi terjadi kemunduran yang meliputi ancaman atau penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berpendapat. Data yang disampaikan berbeda dengan data yang disampaikan Jusuf Kalla saat acara Mimbar Demokrasi Kebangsaan, dia mengatakan bahwa berdasarkan survei The Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan. Dalam survei itu, Indonesia menempati peringkat 64 dari 167 negara di dunia.  Masalah ini dijadikan bentuk respon atas pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta masyarakat aktif dalam mengkritik kinerja Pemerintah. 

Menurut Margarito Kamis, Pakar Hukum Tata Negara Indonesia menyebutkan bahwa kebebasan berekspresi adalah cara untuk memanusiakan manusia, tetapi memang kebebasan bukan tanpa batas. anda tidak bisa memakai kebebasan itu untuk memaki-maki orang. Harus ada batas. Kebebasan harus ada tanggung jawab. Dan batas itu jangan sampai multitafsir. Sama seperti pendapat Margarito, Hendri Satrio, Pakar Komunikasi Politik menyarankan kepada DPR untuk mereview kembali UU ITE.

Selanjutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan kepada DPR untuk merevisi UU ITE kembali dan menghapus pasal karet yang terdapat di UU ITE. Pernyataan ini disambut baik oleh banyak pihak, karena dengan adanya hal tersebut, mereka bisa menjaga ruang digital dengan bijak dan dimanfaatkan secara produktif. Hal ini memberikan lampu hijau terhadap masyarakat setelah Presiden Jokowi menyadari dari berbagai banyaknya laporan yang disampaikan oleh masyarakat dapat menjadikan UU ITE sebagai salah satu rujukan hukumnya yang menjadikan proses hukum dianggap kurang memenuhi rasa keadilan. Maka dengan adanya wacana revisi UU ITE ini dapat mengembalikan keadilan masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan ekspresinya kepada pemerintah.

Kebebasan berpendapat perlu dijamin dan dilindungi. Namun, yang kita inginkan adalah kebebasan berpendapat yang bertanggungjawab. Dengan adanya revisi UU ini diharapkan masyarakat menjadi lebih bertanggungjawab dan lebih leluasa untuk menyampaikan kritikan dan pendapat kepada pemerintah. Sesuai dengan tujuan dalam UU ITE pada Pasal 4 huruf e menjelaskan bahwa memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi. Maka terhadap kenyataan yang terjadi dalam kasus pelanggaran UU ITE ini, harus mengevaluasi kembali terhadap perlindungan dan keadilan bagi masyarakat umum untuk bisa menyampaikan pendapatnya. Peraturan ini harus tetap menjadi tonggak utama dalam menjaga dan mengendalikan kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab tanpa membuat masyarakat merasa terbelenggu dan terpaksa mentaati UU. 

Sumber :

  ()