Perkawinan Beda Agama di Indonesia , Sah atau Tidak ?

Isu perkawinan beda agama belakangan menjadi tema yang menarik perhatian publik. Mulai dari putusan PN surabaya yang menetapkan pengesahan perkawinan beda agama, lalu MK yang sedang menyidangkan judicial review UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Persidangan masih terus berlanjut yang mana terakhir dilaksanakan pada 11 Agustus 2022. Persidangan selanjutnya akan kembali dilaksanakan pada Rabu, 7 September 2022 dengan agenda mendengarkan keterangan dari 2 Ahli yang dihadirkan Majelis Ulama Indonesia (MUI). 

Berdasarkan latar belakang tersebut, Advokat Konstitusi (@advokatkonstitusi) selaku platform edukasi hukum dan konstitusi menyelenggarakan webinar dengan tema “Perkawinan Beda Agama : Perspektif HAM”. Kegiatan webinar diselenggarakan pada Sabtu, 20 Agustus 2022 melalui zoom meeting. Antusias peserta terhadap topik webinar ini terlihat pada jumlah kehadiran dalam platform zoom meeting sebanyak 190 partisipan. Webinar ini dihadiri oleh dua Narasumber berkompeten yaitu Manunggal K. Wardaya (Dosen FH UNSOED) dan Maneger Nasution (Wakil Ketua Komisi Hukum dan HAM MUI). Jalannya kegiatan webinar dipandu oleh Jeremy Fritz selaku Master of Ceremony  dan Rike Patmanasari selaku Moderator.

Berkenaan dengan polemik perkawinan beda agama, Manunggal K. Wardaya selaku dosen human rights (HAM) ,yang memperoleh gelar doktor dari Faculteit der Rechtsgeleerdheid Radboud Universiteit Nijmegen, the Netherlands, membuka pembahasaan sebagai Pembicara 1 dengan mengupas perkawinan beda agama perspektif HAM.

 “Ada pelanggaran hak konstitusional karena seseorang jadi terpaksa, harusnya UU tidak menimbulkan pensiasatan hukum . Pada akhirnya itu akan menjadi diskriminasi yang mana hanya mereka yang beragama sama yang dapat melakukan perkawinan sah” ucap Manunggal. Lebih lanjut beliau mengungkapkan bahwa, Pasal 2 ayat (1) UUP mengandung spirit obligation (roh kewajiban), sehingga beliau tidak setuju dengan Pasal tersebut karena secara tidak langsung memaksa orang untuk beragama.

Pembicara 2 yaitu Maneger Nasution membawa pandangan menarik terkait perkawinan beda agama di Indonesia. “Indonesia bukanlah negara penganut HAM yang sekuler (memisahkan agama dari negara, melegalkan segala macam cara atas nama HAM) yang jelas-jelas hal tersebut bertentangan dengan sila 1 Pancasila” ujar Manager Nasution. 

“Kita tidak boleh mengabaikan hukum agama yang hidup di masyarakat. Walaupun melanggar HAM, Pasal 28J UUD 1945 menyebutkan dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Asalkan dibatasi oleh UU itu bukan pelanggaran HAM tapi bukan berarti itu bukan pasti melanggar HAM. Pembatasan UU tidak melanggar HAM apabila selaras dengan kepentingan umum” lanjut Maneger Nasution.

Antusiasme partisipan setelah para pembicara memaparkan pandangannya ditunjukkan saat sesi tanya jawab dan acara terselenggara secara interaktif dengan terjalinnya interaksi yang hangat antara kedua pembicara dan para peserta

Di sesi akhir, masing-masing narasumber memberikan penegasannya.  Manunggal menunjukkan dukungannya terhadap kegiatan webinar ini. “Saya harap ini bukan menjadi acara yang terakhir tapi terus dikembangkan oleh Advokat Konstitusi untuk mengadakan kegiatan seperti ini” ujar Manunggal. Manager mengungkapkan bahwa beliau akan menjadi saksi ahli dalam salah satu permohonan uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Ia kembali menegaskan bahwa dengan standing position yaitu perkawinan beda agama di Indonesia sesuai dengan norma UU Perkawinan  sudah final dan sesuai dengan ketentuan konstitusi, Pancasila, termasuk nilai-nilai keindonesiaan. Beliau mengajak partisipan untuk berargumentasi secara baik dan saling menghargai jika memiliki pandangan berbeda. ()