Oleh: Shafira Arizka
Kamis (2/3/2022), Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) melalui putusannya memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak melanjutkan tahapan Pemilu 2024 selama kurang lebih 2 tahun 4 bulan 7 hari semenjak putusan tersebut diputuskan. Putusan PN Jakpus ini sekaligus mengabulkan gugatan yang dilayangkan oleh Partai Prima kepada KPU beberapa waktu yang lalu.
Kasus ini bermula dari gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilayangkan Partai Prima kepada KPU, perihal sengketa proses verifikasi partai politik peserta Pemilu. Gugatan ini dilayangkan Partai Prima pada 8 Desember 2022. Partai Prima dalam gugatannya menjelaskan bahwa KPU telah menyebabkan kerugian baik secara materiil dan imateriil melalui keputusan KPU mengenai hasil yang menetapkan Partai Prima tidak memenuhi syarat (TMS) dalam rekapitulasi hasil verifikasi administrasi partai politik calon peserta pemilu, dan mengakibatkan Partai Prima tidak dapat mengikuti verifikasi aktual. Dalam gugatannya, selain meminta biaya ganti rugi, Partai Prima juga meminta agar proses tahapan pemilu untuk tidak dilanjutkan. Majelis Hakim yang terdiri dari tiga (3) hakim tersebut, memutuskan untuk mengabulkan gugatan Partai Prima. Melalui putusan penundaan tahapan pemilu, Pemilu menjadi terancam untuk ditunda.
Putusan PN Jakpus langsung menuai kritik dan protes dikalangan masyarakat khususnya di kalangan praktisi dan akademisi hukum. Berbagai ahli hukum Indonesia menilai bahwa putusan hakim PN Jakpus tersebut telah keliru dan telah melampaui kewenangan PN Jakpus. Yusril Ihza Mahendra, ikut mengomentari putusan PN Jakpus.
“Saya berpendapat bahwa majelis hakim telah keliru dalam membuat putusan dalam perkara ini”, dalam komentarnya. Menurutnya, seharusnya putusan tersebut tidak mengikat pada partai-partai lain, melainkan hanya kepada KPU dan Partai Prima saja.
Kritik yang sama juga disuarakan oleh Mahfud MD, yang ia tulis dalam akun Instagram pribadinya. “PN Jakpus membuat sensasi berlebihan.”, ucapnya pada akun tersebut. (3/3) Ia mempersoalkan kewenangan PN yang seharusnya tidak sampai pada vonis tersebut. Selain itu ia mendorong agar KPU untuk segera melakukan banding.
“Saya mengajak KPU naik banding dan melawan habis-habisan secara hukum. Kalau secara logika hukum pastilah KPU menang.” ()