Polemik Status Quo Ganja : Mungkinkah Legalisasi Untuk Medis ?

oleh : Sayyid Nurahaqis

(Internship Advokat Konstitusi)

Legalisasi ganja menjadi diskursus yang terus berkembang dalam beberapa dekade terakhir. Yang terbaru, DPR RI melalui komisi III telah membentuk  panitia kerja (Panja) khusus membahas revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Selanjutnya disebut, UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika). 

Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Panja Komisi III DPR bersama Kementerian Hukum dan HAM di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin (23/05/22). Terdapat secercah harapan nasib dari tanaman bernama Cannabis Sativa (ganja) ini.

Dalam RDPU tersebut DPR dan pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM turut membahas problematika ganja yang diatur dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. DPR mengklaim, tidak bisa dimungkiri ganja bisa menjadi bagian dari obat dalam keperluan medis. Sedangkan pemerintah merespon terkait hal itu, terdapat perdebatan yang sangat berat dan perlu penelitian yang serius terkait penggunaan ganja untuk obat. 

Untuk mengetahui bagaimana penggunaan ganja sebagai obat dalam keperluan medis, maka kaitannya harus berdasar dengan ketentuan hukum kesehatan yang berlaku, yaitu secara yuridis mengenai penggunaan narkotika dan psikotropika dalam hal ini ganja untuk penggunaan medis telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Selanjutnya, disebut UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan) dan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan penggunaan narkotika dan psikotropika memang tidak diatur secara spesifik. Melainkan dalam UU Kesehatan hanya sebatas pengaturan umum saja, yaitu narkotika dan psikotropika hanya diperuntukan penggunaan farmasi dan dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 102 Ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Namun, dalam Pasal 102 Ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ketentuan penggunaan narkotika dan psikotropika harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pada Pasal inilah kausalitas sebab akibat dari ganja tidak dapat digunakan untuk obat dalam keperluan medis Indonesia.

Untuk ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang ganja secara komprehensif telah diatur dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam UU Narkotika, ganja masuk ke dalam jenis narkotika golongan I. Perlu diketahui, dalam UU Narkotika terdapat larangan bahwa jenis narkotika golongan I tidak dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan atau medis. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 8 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.

Maka dapat disimpulkan secara yuridis, ganja untuk obat dalam keperluan medis tidak dapat mungkin terjadi di Indonesia. Kecuali, perlu revisi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika atau melangsungkan uji materi (Judicial Review) Pasal 8 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut ke Mahkamah Konstitusi.

Jika flashback ke beberapa tahun lalu, tepatnya di tahun 2017. Terdapat kasus yang sempat menghebohkan jagat maya, yaitu kasus pegawai negeri di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat bernama Fidelis Ari Sudarwoto yang nekat menanam ganja demi untuk pengobatan istrinya.  Kasus yang pada waktu itu banyak menuai sorotan dari banyak masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), semisalnya LSM Lingkar Ganja Nusantara (LGN), LBH Masyarakat dan Yayasan Sativa Nusantara. Sejumlah LSM tersebut meminta pemerintah melegalisasikan ganja untuk pengobatan. 

Mengetahui legalisasi ganja untuk keperluan medis bukanlah hal yang tabu, terbukti terdapat beberapa negara yang telah melegalkan ganja untuk medis. Semisalnya, Amerika Serikat, Korea Selatan, Turki dan yang terbaru adalah negara Thailand. Seharusnya Indonesia bisa menjadikan acuan negara-negara tersebut sebagai dasar untuk dilakukannya sebuah penelitian atau riset terkait pemanfaatan ganja sebagai obat dalam keperluan medis.

Kepastian melegalkan ganja untuk keperluan medis sebenarnya ada di tangan pemerintah (Eksekutif), karena DPR RI telah memberikan lampu hijau atas polemik ganja untuk medis. Itu dibuktikan DPR RI memasukan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk dilakukan perubahan atau revisi dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022.

Selain itu, dalam RDPU pada Senin (23/05/22). Anggota DPR RI Komisi III Arsul Sani, mengungkapkan dan menanyakan sikap pemerintah terkait penggunaan tanaman ganja yang memungkinkan diperuntukkan untuk pengobatan.

 “Banyak usulan dari masyarakat terkait ganja untuk pengobatan, saya ingin mengetahui sikap pemerintah seperti apa. Saya sedih, jika terulang lagi kasus-kasus seperti Fidelis, yang menanam ganja untuk pengobatan istrinya, kemudian diproses pidana, dia masuk penjara dan istrinya meninggal”, ucap Arsul Sani, dikutip dari antaranews.com, Rabu (15/06/22).

Kembali ke judul tulisan ini, “Polemik Status Quo Ganja : Mungkinkah Legalisasi Untuk Medis ?” Maka asumsi penulis berpendapat, cepat atau lambat mungkin saja ganja akan legal untuk keperluan medis. Dengan catatan, bagaimana pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait mau atau tidak melakukan sebuah penelitian terkait ganja untuk medis.

Mengingat, sampai saat ini belum ada penelitian resmi oleh pemerintah terkait ganja dapat diperuntukkan sebagai obat atau tidak. Asumsi penulis berdasarkan dalam Pasal 4 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yakni tujuan utama dari UU Narkotika adalah untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Pasal 4 Ayat (1) UU Narkotika juga selaras dengan apa yang diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 1945 dalam Pasal 28H Ayat (1), yang menyatakan negara telah menjamin atas pelayanan kesehatan tersebut.

Yang artinya, menjawab polemik terkait ganja untuk medis perlu keharusan pemerintah melakukan sebuah penelitian berbasis IPTEK agar membuktikan apakah ganja dapat diperuntukan sebagai obat dalam keperluan medis atau tidak. ()