oleh: Catur Agil Pamungkas
Internship Advokat Konstitusi
Senin (11/7/2022) masyarakat Indonesia dihebohkan oleh berita insiden baku tembak yang melibatkan dua anggota kepolisian aktif di rumah Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Irjen Ferdy Sambo. Berdasarkan Peristiwa tersebut, Brigadir Nopryansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J tewas ditembak oleh rekanya yang sama-sama berasal dari Korps Polri Bharada E. Peristiwa polisi tembak polisi tersebut menuai sorotan karena menyimpan sejumlah kejanggalan.
Kronologi Kejadian Menurut Humas Polri
Mengutip Pernyataan Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan Senin (11/7/2022), insiden bermula ketika Brigadir J masuk kedalam kamar pribadi Kadiv Propam dan berusaha melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap isteri Kadiv Propam disertai dengan penodongan senjata api. Peristiwa tersebut menyebabkan isteri Kadiv Propam Panik dan berteriak hingga didengar oleh Bharada E, sontak mendengar suara tersebut, Barada E langsung mendekati sumber suara dan mendapati Brigadir J yang justru langsung mengeluarkan senjata api miliknya dan di arahkan ke Bharada E.
Singkat cerita, peristiwa baku tembak pun tak terhindarkan, dan berujung dengan tewasnya Brigadir J, sementara Bharada E selamat dan tak mengalami luka tembak. Berdasarkan olah TKP, Brigadir J melepaskan 7 proyektil peluru sedangkan Bharada E membalas dengan mengeluarkan 5 proyektil peluru.
Sederet Kejanggalan
Peristiwa ini menjadi perhatian banyak masyarakat, setelah disinyalir terdapat berbagai kejanggalan dalam insiden ini. Pertama, bahwa berdasarkan konfersi pers yang dilakukan oleh Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan pada Senin (11/7/2022), disampaikan bahwa insiden penembakan Brigadir J terjadi pada hari Jumat (8/7/2022) sekitar pukul 17.00 WIB. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka terdapat jeda waktu antara peristiwa penembakan dan pengungkapan insiden tersebut.
Kedua, kejanggalan selanjutnya diungkap oleh keluarga Brigadir J yang pada awal mulanya tidak diperkenankan untuk melihat kondisi jasad korban, akan tetapi sang Ibu bersikukuh ingin melihat jasad anaknya untuk terakhir kali. Pada saat melihat jasad korban, keluarga mendapati jasad Brigadir J penuh luka, mulai dari luka sayatan senjata tajam pada bagian mata, hidung, mulut dan kakinya, sampai dengan luka tembakan yang disinyalir lebih dari satu, yakni terdapat pada bagian dada, tangan dan leher. Ketiga, kejanggalan selanjutnya adalah sejumlah kamera CCTV yang berada di rumah Irjen Ferdy Sambo dalam kondisi mati, sehingga tidak bisa merekam baik itu detik-detik dugaan pelecehan maupun insiden baku tembak.
Kapolri Bentuk Tim Khusus
Kapolri kemudian bergerak cepat dengan membentuk tim khusus untuk mengungkap kasus penembakan serta guna menjawab keraguan publik atas insiden baku tembak yang menewaskan Brigadir J tersebut.
“Karena memang terjadi baku tembak antara anggota dan anggota, dan kami juga mendapatkan banyak informasi terkait dengan berita-berita liar yang beredar yang tentunya kita juga ingin semuanya ini bisa tertangani dengan baik,” kata Listyo kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (12/7).
Listyo menjelaskan tim tersebut akan dipimpin oleh Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono. dibantu oleh Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Agung Budi Maryo, Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto, Kabaintelkam Polri Komjen Ahmad Dofiri, dan Asisten Kapolri bidang SDM Irjen Wahyu Widada.Selain itu, pihaknya juga mengerahkan unsur dari Divisi Propam Polri.
Bagaimana Pengaturan Penggunaan Senjata Api Oleh Kepolisian?
Regulasi yang mengatur mengenai penggunaan senjata api oleh polisi antara lain diatur dalam Perkapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta dalam Perkapolri No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Berdasarkan Pasal 47 Perkapolri 8/2009 disebutkan bahwa:
(1) Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.
(2) Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk:
a.dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
b.membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
- membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;
- mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang;
- menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan
- menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009 disebutkan bahwa Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api oleh polisi dapat dilakukan apabila:
a. tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat;
b.anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut;
c.anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.
()