Oleh: Rayhan Naufaldi Hidayat
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah menimbulkan implikasi yang begitu signifikan bagi ketatanegaraan Indonesia. Tidak sedikit lembaga yang dihapus dan dibentuk secara baru demi menyesuaikan dengan kebutuhan kompleksitas bernegara dan demokratisasi dalam berpolitik. Paradigma ketatanegaraan sebagai jantung dalam melangsungkan bahtera negara digeser secara fundamental menjadi supremasi konstitusi berbasiskan kehendak rakyat. Konsep demikianlah yang memicu berdirinya lembaga baru bernama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dibentuk agar dapat memberi garansi atas berlaku dan tegaknya Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam tata hukum nasional dan kehidupan bernegara. Fungsinya jelas, yaitu menegakkan konstitusi dan menjaga hak serta kebebasan rakyat (uphold the constitution and safeguard the rights and freedoms of the people) dalam iklim demokrasi. Pemahaman seperti itu dipertegas oleh Alec Stone Sweet yang menyatakan “… a constitutionally established, independent organ of the state whose central purpose is to defend the normative superiority of the constitutional law within the juridical order. Ia menerangkan bahwa konstitusi yang memiliki kedudukan hukum tertinggi (supreme law) telah semestinya dikawal dan ditegakan oleh peradilan konstitusi yang bersifat independen dan imparsial.
Kontroversi Peraturan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman layaknya Mahkamah Agung Republik Indonesia perlu didasarkan pada aturan main (rule of the game) yang jelas dan rijit. Selama ini pengaturan perihal hukum beracara hanya diformulasikan sebagai materi muatan dalam bentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi. Tentu saja politik hukum tersebut mengundang problematika dan kontroversi yang tajam. Pertanyaan argumentatif yang kerap dilontarkan ialah Apakah peraturan Mahkamah Konstitusi dikenal dalam hirarki perundang-undangan di Indonesia? Lalu, apakah materi hukum beracara tepat dan sesuai jika diatur dalam peraturan tersebut?
Peraturan Mahkamah Konstitusi pada dasarnya telah direkognisi dalam hirarki perundang-undangan di tanah air. Akan tetapi, posisinya tidak terlalu kuat dan legitimate, karena hanya tergolong sebagai peraturan lembaga yang sejajar dengan peraturan Mahkamah Agung, peraturan Otoritas Jasa Keuangan, peraturan Badan Pemeriksa Keuangan dan peraturan Ombudsman. Kategorisasi terhadap peraturan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ialah sebagai peraturan lainnya. Label peraturan seperti itu diafirmasi dalam Pasal 8 dan kedudukannya berada satu derajat di bawah peraturan-peraturan utama (main rules) dalam sistematika tata urutan perundang-undangan di Indonesia. Persoalan mendasarnya ialah materi beracara dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia hanya diberi kekuatan hukum oleh aturan tersebut, tanpa ada payung hukum yang lebih tinggi di atasnya seperti halnya hukum acara pidana yang telah diatur terlebih dahulu dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan diejawantahkan dalam berbagai peraturan Mahkamah Agung.
Kelebihan dan Kekurangan
Pengaturan mengenai hukum beracara yang dijadikan rujukan dalam praktik di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia akan menjadi lebih berkepastian hukum bilamana diakomodir dalam bentuk undang-undang. Tata cara tersebut relatif menjadi lebih baku dan rijit serta sulit untuk diubah-ubah dalam jangka waktu yang panjang. Politik hukum demikian tentu akan mempermudah hakim konstitusi dan para praktisi yang beracara di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, mengingat tidak perlu lagi harus terus melakukan penyesuaian atas hukum beracara yang berubah-ubah. Dengan begitu, efektivitas dan efisiensi akan mudah tercapai dalam menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di tataran konkret.
Sedikit kelemahan yang akan timbul bilamana gagasan akan pencantuman materi hukum beracara di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ke dalam bentuk undang-undang ialah aspek fleksibilitas. Hukum beracara menjadi sepenuhnya usang dan tertutup akan berbagai penyempurnaan-penyempurnaan yang ditemukan kemudian hari dalam praktik. Hal itu dikarenakan praktik beracara merupakan suatu yang sangat dinamis di lapangan dan memiliki kecenderungan untuk terus berubah dan berkembang seiring semakin tingginya intensitas praktik. Pencantuman materi hukum beracara dalam undang-undang akan menutup pintu penyempurnaan yang dilakukan secara berkala guna memperoleh model beracara yang cepat, mudah dan tidak berbelit-belit. Terlebih, kemungkinan terburuk sebagai konsekuensi logis yang bisa saja terjadi yaitu cita supremasi konstitusi dan perlindungan hak serta kebebasan rakyat dalam negara demokrasi menjadi semu, karena terbelenggu dengan mekanisme teknis prosedural dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Equilibrium yang bisa dijadikan solusi dari polemik bifurkasi tajam perihal dasar legitimasi yang tepat bagi hukum beracara dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ialah model delegasi (delegation models). Model ini meniscayakan adanya kepastian hukum yang ajeg bersamaan dengan fleksibilitas dari proses beracara di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Pengaturan prinsip-prinsip beracara yang bersifat fundamental dimuat dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Sementara aturan teknis prosedural didelegasikan ke dalam bentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, prinsip-prinsip dasar beracara menjadi ajeg, sedangkan teknis prosedural dapat terus berkembang dan dilakukan penyempurnaan seiring berjalannya waktu. ()