PROBLEMATIKA HAK ASAL-USUL SEBAGAI SUMBER KEWENANGAN DESA

Oleh: Rania Fitri Nur Rizka

(Internship Advokat Konstitusi)

Pembicaraan mengenai desentralisasi sebagai amanat reformasi rasanya tidak dapat menyampingkan topik mengenai otonomi desa. Keberadaan desa (dan berbagai sebutan lainya seperti Nagari) berikut otonominya telah ada bahkan sebelum negara kesatuan ini terbentuk. Komitmen untuk menghormati dan mempertahankanya khususnya sebagai upaya menjaga eksistensi masyarakat adat telah ada sejak Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pertama kali dibentuk. Akan tetapi bukan berarti upaya untuk mempertahankan dan menghormati nya terus konsisten seiring dengan perkembangan zaman.

Perubahan Rumusan Hak Pasca Amandemen : Degradasi Hak?

Rumusan pasal 18 Undang-Undang 1945 berbunyi “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahanya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang istimewa.” Diketahui dari penjelasan UUD 1945, ketentuan tersebut merupakan upaya negara untuk menghormati susunan asli masyarakat (seperti Marga di Palembang). Pasal 18 ini merujuk hak-hak istimewa sebagai hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat adat.

Sementara itu amandemen UUD 1945 tetap menjamin penghormatan serupa dengan merubah isi pasal tersebut menjadi pasal 18A dan pasal 18B. Perubahan dari amandemen ini diantaranya mengganti rumusan “hak-hak asal-usul” menjadi “hak-hak tradisional”. Rumusan “hak-hak istimewa” juga masih ditemukan, hanya saja merujuk pada pemerintah daerah yang diberi otonomi khusus seperti DIY Yogyakarta. Rumusan “daerah besar dan daerah kecil” juga dihapus dan diganti dengan penyebutan provinsi, kabupaten, dan kota sebagai bentuk pembagian daerah di Indonesia. Dengan ketentuan itu, desa tidak lagi masuk dalam hierarki pembagian daerah dalam konstitusi.

Kedudukan pemerintah desa dengan ini dapat ditafsirkan setara dengan kedudukan pemerintah daerah atau pemerintah daerah istimewa. Dengan melihat pada pandangan Prof. Talizindhu Ndraha, kewenangan yang dimiliki desa,yaitu otonomi desa, muncul sebagai konsekuensi “hak bawaaan” yang muncul sebagai akibat dari dirumuskanya hak asal-usul atau hak tradisional apabila merujuk pada perubahan setelah amandemen (Zakarta : 2013). Perubahan ini lantas berdampak pada jaminan akan kedudukan masyarakat hukum adat yang melemah (Zanibar 2007 : 179). Di satu sisi ketentuan yang menghapus hak asal-usul dan rumusan eksplisit Desa juga dapat dilihat sebagai kewajiban pengaturan desa sebagai lembaga otonom yang berada di luar hierarki kedudukan pemerintahan daerah.

Kewenangan dari Hak sebagai Ciri Khas Otonomi

Selain wewenangnya sebagai badan hukum publik biasa, desa menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan kewenangan seperti politik, mengadili, dan pengaturan dengan skala yang sangat terbatas. Yang menjadi ciri khas dari otonomi desa adalah wewenang dari hak asal-usul dan kewenangan bersifat lokal yang tidak dilimpahkan pemerintah daerah. Hal ini membuat otonomi desa berbeda dari otonomi daerah. Kewenangan-kewenangan lokal dan dari hak tersebut sekiranya mencakup mengenai pembinaan lembaga dan hukum adat, pengelolaan tanah dan hak ulayat bagi Desa Adat, dan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat.

Instrumen utama pengaturan desa saat ini, yaitu UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, mempertahankan kewenangan tersebut melalui asas subsidiaritas dan asas rekognisi yang mengakui penetapan kewenangan skala lokal dan hak asal-usul. Kombinasi atas asas rekognisi dan subsidiaritas ini yang kemudian juga menghasilkan definisi desa yang berbeda. Dalam undang-undang, desa dibagi menjadi dua, yaitu desa yang merujuk pada definisi umum dan desa adat yang merujuk pada desa dengan keberadaan masyarakat adatnya dan hak asal-usulnya yang lebih dominan. Menurut penjelasan UU Desa, ketentuan ini dibuat untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara Desa dan Desa Adat dalam satu wilayah.

Tantangan Implementasi Kewenangan
Namun kewenangan tersebut dalam tataran pengaturan peraturan pelaksana justru dibelenggu. Seperti dalam hal penentuan kewenangan yang berasal dari hak asal-usul, pemerintah kabupaten/ kota berhak untuk melakukan inventarisasi dan identifikasi dari kewenangan-kewenangan yang diajukan untuk selanjutnya diterbitkan dalam peraturan kabupaten/kota. Hal ini juga menjadi pertanda bahwa kedudukan desa sebagai lembaga otonom masih belum kuat. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa, dan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 1 tahun 2015 tentang Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa.
Perubahan keadaan di masyarakat yang menghambat pelaksanaan kewenangan juga tidak dapat dihindari. Meski hak asal usul masih ada namun diakui bahwa terjadi perubahan struktur ekonomi desa kontemporer yang lebih mendekati industri daripada pertanian. Kewenangan dari hak asal usul pun mengalami perubahan bentuk (Kushandajani 2015 : 394). Selain itu, menurut penulis, khususnya di kota atau kabupaten yang besar, kehadiran desa sebagai pemberdaya masyarakat dan subjek pembangunan jadi tersingkirkan. Pola ekonomi dan sosial masyarakat yang cenderung menjauhi pola kebersamaan mempengaruhi bagaimana implementasi hak asal-usul ini akan dijalankan. Dengan ini sekiranya perlu dilakukan evaluasi terhadap penguatan otonomi desa dari kebijakan dan instrumen hukum yang ada.

 

Daftar Pustaka :
Zen Zanibar. “Desa : Pergulatan Mencari Jati diri”. Jurnal Konstitusi, vol. 4. Maret 2007.
Kushandajani. “Implikasi UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa Terhadap Kewenangan Desa”. Jurnal Yustisia, vol. 4. Mei-Agustus 2015.
Indonews, 13 Februari 2021, https://indonews.id/artikel/28024/Lima-Tahun-UU-Desa-Penyederhanaan-Pelaksanaan-UU-Desa-Mendesak-Dilakukan/, diakses pada tanggal 24 Februari 2021.
Halim A. Iskandar. 21 Januari 2021. “Selamatan Desa, 7 Tahun UU Desa”. https://www.jawapos.com/opini/21/01/2021/selamatan-desa-7-tahun-uu-desa/. Diakses pada tanggal 25 Februari 2021
R. Yando Zakaria. “Menimbang-nimbang Mandat Konstitusi Tentang kedudukan Desa atau Disebut dengan Nama Lain”. Jurnal Mandatory, Vol. 10. 2013. ()