Problematika Legal Standing Pemohon Pembubaran Partai Politik 

Oleh : Mario Agritama

(Internship Advokat Konstitusi)

Partai politik merupakan wujud ekspresi dari adanya kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28E UUD NRI 1945. Dalam sistem demokrasi, keberadaan partai politik sangat penting untuk memainkan peran penghubung yang strategis antara proses pemerintahan dengan warga negara. Kendatipun partai politik merupakan manifestasi dari adanya hak kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Namun, hak tersebut perlu untuk dibatasi dengan melakukan pengaturan, seperti dapat dibubarkannya partai politik apabila melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Agritama, 2020). Tindakan tersebut menjadi suatu yang wajar apabila keberadaan partai politik tersebut secara nyata telah mengancam keamanan dan ketertiban negara dan masyarakat.

Samuel Issacharoff dalam bukunya Fragile Democracies Contested Power in the Era of Constitutional Courts, menjelaskan bahwa bentuk pembatasan yang dapat dibenarkan dan dibutuhkan dalam negara demokratis, yaitu pembatasan terhadap kelompok yang mengancam demokrasi, kebebasan, serta masyarakat secara keseluruhan (Issacharoff, 2012). Artinya, Negara dapat melarang atau membubarkan suatu organisasi termasuk partai politik apabila telah bertentangan dengan tujuan dasar dan tatanan konstitusional. Negara demokrasi tidak hanya memiliki hak, tetapi juga tugas untuk menjamin dan melindungi prinsip-prinsip demokrasi konstitusional.

Ketentuan terhadap larangan tindakan yang tidak semestinya dilakukan oleh partai politik secara jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 juncto Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, yaitu pada Pasal 40 ayat (5) UU a quo menyebutkan bahwa partai politik dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme. Apabila terdapat partai politik yang terbukti melanggar ketentuan tersebut, maka partai politik tersebut harus siap untuk dibubarkan.

Berdasarkan ketentuan di atas, persoalan pun hadir menyelimuti problematika pembubaran partai politik. Berdasarkan ketentuan Pasal 68 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa legal standing pemohon tunggal pembubaran partai politik yang hanya berada pada pemerintah. Menurut Penulis, adanya subjek tunggal pemohon pembubaran partai politik pada pemerintah dikhawatirkan akan menimbulkan conflict of interest dalam partai politik pemerintah. Lebih lanjut, ketentuan a quo secara nyata telah mereduksi bentuk pengawasan rakyat terhadap partai politik sebagai wujud kedaulatan rakyat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945. Dasarnya, rakyat adalah pemegang otoritas tertinggi, seharusnya rakyatlah yang dapat membentuk, mengawasi, dan membubarkan partai politik.

Potensi Conflict of Interest

Dengan adanya legal standing pemohon tunggal hanya pada pemerintah, dikhawatirkan akan terjadi potensi conflict of interest antara pemerintah dan partai politik. Pertama, apabila partai politik yang diduga melanggar konstitusi dan dapat dibubarkan merupakan partai politik dari pemerintah tentu akan menjadi suatu “kemustahilan” pemerintah dalam mengambil inisiatif agar mengajukan permohonan pembubaran terhadap partai politiknya sendiri. Kedua, pemerintah dapat menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki tersebut untuk menjatuhkan partai politik rival dalam kontestasi pemilu sehingga berpotensi merusak tatanan sistem demokrasi di Indonesia.

Mengesampingkan Konsep Kedaulatan Rakyat

Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, rakyat dalam hal ini sama sekali tidak memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan pembubaran partai politik. Hal tersebut secara jelas telah mengesampingkan adanya konsep kedaulatan rakyat.

Partai politik sendiri didirikan atas dasar kebutuhan rakyat, sehingga rakyat perlu untuk diberikan hak untuk mengawasi aktivitas partai politik, apakah sesuai amanat atau tidak. Maka dari itu, rakyat harus diberikan hak untuk usul dalam pembubaran partai politik. Jika eksistensi partai politik membahayakan negara, maka rakyat seharusnya dapat mengajukan usul untuk membubarkan partai politik sebagaimana rakyat punya hak untuk mendirikan partai politik.

Walaupun sebenarnya dengan diberikannya legal standing a quo terhadap rakyat, tentu akan menimbulkan iklim demokrasi yang tidak begitu kondusif. Dimana nantinya akan begitu banyak permohonan untuk pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi. Namun, hal tersebut merupakan suatu konsekuensi yang harus dijalani dalam konsep negara demokrasi guna menjaga nilai-nilai konstitusional dan mencegah hal-hal yang berpotensi merusak tatanan nilai demokrasi di suatu negara.

Sejalan dengan pendapat Mahfud MD dalam (Wardhana & Setyanugraha, 2013: 536), bahwa kewenangan dalam pembubaran partai politik tidak boleh berada di tangan pemerintah karena pada prinsipnya pemerintah dibentuk oleh partai politik. Lebih lanjut Jimly Asshiddiqqie juga menegaskan, bahwa dalam sistem yang demokratis, pembatasan, pembubaran, dan pelarangan terhadap suatu organisasi (termasuk partai politik), hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan-alasan yang rasional dan proporsional, melalui mekanisme due process of law, dan berdasarkan putusan pengadilan. Pembubaran partai politik tidak dapat diserahkan kepada pemerintah karena berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Partai politik yang memenangkan pemilihan umum dapat menggunakan kekuasaannya sebagai partai pemerintah (governing party) untuk menjegal saingannya.

Dengan demikian, sudah sepatutnya diperlukan perluasan subjek pemohon pembubaran partai politik. Perluasan tersebut meliputi perseorangan atau badan hukum, yang harus mendapatkan legal standing untuk dapat mengajukan permohonan pembubaran partai politik sebagai pelaksana kedaulatan tertinggi. Dengan adanya perluasan tersebut, diharapkan dapat menjawab berbagai problematika yang muncul dengan adanya pemohon tunggal dari pemerintah. ()