PROBLEMATIKA PEMBEKUAN SUATU PARTAI POLITIK

Oleh: Rahmad Ihza Mahendra, S.H.

(Internship Advokat Konstitusi)

Negara Indonesia adalah negara yang menganut paham demokrasi, dalam hal ini dilakukan sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi rakyat adalah partai politik, jika dihubungkan dengan UUD 1945 maka partai politik merupakan pelembagaan dari kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang telah dijamin negara. Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (UU tentang Partai Politik) menyebutkan bahwa “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam sistem demokrasi. Partai politik berperan sebagai penghubung antara proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak berpendapat bahwa partai politik yang menentukan demokrasi, seperti yang dikatakan oleh Schattscheider (1942), “Political parties created democracy”. Oleh karena itu partai politik merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat sistem kelembagaannya untuk berbangsa dan bernegara. Ada empat fungsi partai politik, yaitu: pertama, sebagai sarana komunikasi politik; kedua, sebagai sarana sosialisasi politik; ketiga, sebagai sarana rekrutmen politik; keempat, sebagai sarana pengatur konflik.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik adalah aturan atau pedoman bagi partai politik, mulai dari hak dan kewajiban, larangan, serta sanksi yang diberikan apabila melanggar larangan tersebut. Pada Pasal 40 Ayat (1) sampai dengan Ayat (5) menyebutkan tentang larangan bagi partai politik, selanjutnya Pasal 47 sampai dengan Pasal 50 mengatur tentang sanksi yang diberikan apabila partai politik tersebut melakukan pelanggaran. Diantara sanksi tersebut mulai dari sanksi administrasi berbentuk pembekuan sementara sampai dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 48 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (6), menyebutkan bahwa apabila partai politik melanggar ketentuan dalam Pasal 40 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (4) Partai politik tersebut, maka akan dikenakan sanksi administrasi berupa pembekuan sementara oleh pengadilan negeri.

Dibekukan sementara oleh pengadilan negeri, kata “pengadilan negeri” dapat diartikan bahwa yang dibekukan kepengurusannya hanyalah Dewan Pimpinan Cabang partai politik pada wilayah pengadilan negeri tersebut bukan pembekuan kepengurusan partai politik secara menyeluruh. Lalu apa saja bentuk pelanggaran yang dimungkinkan akan dilanggar oleh partai politik tersebut? serta siapa yang berwenang untuk melaporkan atau mengajukan permohonan pembekuan partai politik tersebut kepada pengadilan negeri berdasarkan Undang-undang?

Bentuk pelanggaran partai politik yang dapat dikenakan sanksi pembekuan sementara oleh pengadilan negeri, yaitu pertama, partai politik yang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan bendera atau lambang negara, lambang lembaga negara atau pemerintahan, lembaga atau badan internasional, dan tanda gambar dengan partai politik lain. Kedua, partai politik yang melakukan kegiatan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan atau melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, partai politik yang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha. Namun tidak terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai tata peraturan perundang-undangan yang dimaksud dan badan usaha/saham suatu badan usaha yang dilarang bagi partai politik.

Sanksi yang diberikan kepada partai politik apabila melanggar larangan tersebut, Pasal 48 Ayat (1) UU tentang Partai Politik, menyebutkan bahwa, “Partai politik yang telah memiliki badan hukum melanggar ketentuan Pasal 40 Ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan kepengurusan oleh pengadilan negeri”. Adanya kata pengadilan negeri untuk membekukan kepengurusan suatu partai politik yang mana berarti hanyalah Dewan Pimpinan Cabang partai politik di wilayah tersebut yang dibekukan kepengurusannya, misalnya pengadilan negeri kota X menjatuhkan sanksi pembekuan kepengurusan kepada Dewan Pimpinan Cabang partai politik Y, berarti hanya kepengurusan partai politik Y di kota x yang dibekukan bukan kepengurusan secara menyeluruh karena kepengurusan yang ada di kota x yang telah melanggar larangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang. Namun bentuk pelanggaran pada Pasal 40 Ayat (1) UU tentang Partai Politik dirasa sangat tidak mungkin dapat dilanggar oleh partai politik di wilayah cabang, karena untuk lambang dan juga bendera partai politik dapat dipastikan sama secara keseluruhan.

Ada dua bentuk sanksi pembekuan sebagaimana dalam Pasal 48 Ayat (1) dan (2) yaitu pembekuan kepengurusan oleh pengadilan negeri dan pembekuan partai politik oleh pengadilan negeri. Pembekuan kepengurusan partai politik bisa dikarenakan pelanggaran terhadap Anggaran Dasar Partai Politik itu yaitu pelanggaran internal. Dalam pembekuan kepengurusan ini kewenangannya bisa dipegang oleh Dewan Pimpinan Wilayah partai politik tersebut, dikarenakan pelanggaran yang dilakukan hanya pelanggaran internal, kemudian untuk pembekuan sementara partai politik kewenangannya hanya dipegang oleh pengadilan negeri tidak bisa dibekukan oleh pihak lain.

apabila melihat uraian diatas, pelanggaran yang dilakukan oleh suatu partai politik dalam wilayah cabang bukanlah hal yang mustahil, tetapi yang menjadi permasalahannya adalah siapa yang memiliki legal standing dalam menjadi pemohon dalam pembekuan partai politik. Kewenangan sebagai pemohon dalam pembekuan partai politik oleh pengadilan negeri dalam Undang-undang partai politik hanya menyebutkan kewenangan pembekuan di tangan pengadilan negeri tidak ada menyebutkan siapa pihak yang berwenang sebagai pemohon, serta tidak ada aturan khusus beracara dalam pembekuan partai politik di pengadilan negeri seperti dalam pembubaran partai politik oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini berdampak sulitnya untuk menjalankan Undang-undang partai politik itu sendiri terutama apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh suatu partai politik.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa partai politik memiliki peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga apabila suatu partai politik melakukan suatu pelanggaran yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan bisa saja dibekukan sementara lewat pengadilan negeri, akan tetapi akan tetapi tidak adanya aturan yang jelas mengenai siapa yang memiliki hak untuk mengajukan permohonan ini. alangkah baiknya dimasa yang akan datang terkait dengan permasalahan ini segera dituntaskan dengan memperjelas kriteria siapa saja yang memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan pembekuan sementara partai politik yaitu memberikan legal standing pemohon pembekuan kepada setiap warga negara atau memberikan legal standing kepada negara yang diwakili Jaksa Agung/MENDAGRI. ()