Oleh : Aditya Wahyu
(Internship Advokat Konstitusi)
Pengesahan rancangan Undang- Undang Cipta Kerja menggugah sebagian pihak untuk melakukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi. Salah satunya menguji konstitusionalitas proses pembentukan UU Cipta Kerja. Sebab pembentukan UU Cipta Kerja mendapat kritik tentang kurangnya partisipasi masyarakat dalam proses pembahasan dan teknik penyusunan yang dinilai tidak dikenal dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang- Undangan.
Selain pengujian materil, di dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi dikenal juga pengujian formil, yaitu pengujian undang- undang terhadap Undang- Undang Dasar 1945 berkenaan dengan proses pembentukan undang- undang. Namun, pengujian formil belum memiliki batu uji yang memadai karena UUD 1945 hanya memberikan pengaturan mengenai lembaga yang berwenang dan alur pembahasan secara umum. Artinya, belum ada pengaturan mengenai asas- asas pembentukan undang- undang di dalam UUD 1945. Dengan demikian, pengujian formil undang- undang terhadap UUD 1945 kekurangan sandaran batu uji berupa pasal- pasal dalam UUD 1945.
Pengujian formil undang- undang terhadap UUD 1945 merupakan sarana untuk menguji proses pembentukan undang- undang dari awal persiapan hingga pengundangan. Proses pembentukan undang- undang meliputi beberapa tahapan, yaitu tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan terakhir tahap pengundangan. Proses pembentukan undang- undang juga harus menaati asas- asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011.
Asas- asas pembentukan peraturan perundang- undangan, yaitu kejelasan tujuan,kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan. Kedudukan asas- asas sangat vital menjadi pijakan abstrak guna menilai konstitusionalitas pembentukan undang- undang. Namun, sayangnya semua pengaturan asas-asas tersebut bukan diatur di dalam UUD 1945,melainkan hanya diatur di dalam undang-undang. Maka, asas- asas di atas tidak dapat menjadi pijakan pasal pengujian yang seharusnya secara hierarki berada di atas undang- undang itu sendiri (Widiarto, 2019: 35).
Pengujian formil tidak mudah dilakukan karena terbatasnya pengaturan tata cara dan asas pembentukan undang-undang di dalam UUD 1945. Ketentuan normatif yang berkaitan dengan pembentukan undang- undang hanya mengatur tentang lembaga yang berwenang, materi muatan, dan alur pembahasan secara umum. Pengaturan tersebut terdapat pada Pasal 5, Pasal 18, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 22D UUD 1945. Terbatasnya pengaturan pembentukan undang- undang di dalam UUD 1945 berimplikasi pada sulitnya menguji secara formil undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Hal ini dikarenakan setiap pengujian undang- undang hanya dapat didasarkan pada ketentuan- ketentuan di dalam UUD 1945 dan bukan peraturan perundang- undangan yang lain, termasuk bukan terhadap undang- undang sebagai produk hukum yang setara.
Hal tersebut dipertegas dengan dua putusan MK, yaitu Putusan MK Nomor79/PUU-XII/2014 dan Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009. Kedua putusan tersebut memutus atas pengujian formil pembentukan undang- undang terhadap UU No. 12 Tahun 2011 dan Peraturan DPR RI sebagai salah satu ketentuan normatif proses pembentukan undang-undang. Di dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menolak untuk menyatakan bahwa undang-undang terkait tidak memiliki hukum mengikat hanya karena melanggar Peraturan DPR. Sebab, MK menguji undang-undang hanya terhadap UUD 1945 saja (Simarmata, 2017: 41-44).
Proses pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi termasuk dalam judicial review atau menilai kesesuaian baik materil maupun pembentukan antara peraturan perundang- undangan secara hierarkis. Secara historis, pembentukan Mahkamah Konstitusi mengikuti model yang diajukan oleh Hans Kelsen saat dia menyusun Konstitusi Republik Austria pada abad ke-20. Mahkamah Konstitusi menjadi spesial tribunal yang secara kelembagaan terpisah dan memiliki kewenangan yang berbeda dengan Mahkamah Agung. Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan konkretisasi dari prinsip check dan balans di dalam penyelenggaraan pemerintahan (Sumadi, 2011:849).
Sebab, MK berwenang untuk menguji kesesuaian undang- undang sebagai produk hukum dari cabang kekuasaan yang lain, dalam hal ini cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif, terhadap hukum yang lebih tinggi yaitu UUD 1945. Meskipun, memiliki kekuasaan membentuk undang- undang, tetapi DPR dan Presiden tidak dapat sesuka hati membentuk berbagai undang- undang, karena setiap saat produk hukum mereka dapat diajukan pengujian oleh warga negara yang kelak akan dinilai baik formal atau materil di Mahkamah Konstitusi (Asshiddiqie, 2006 : 57). Poin inilah yang menjadi bentuk mekanisme pengawasan MK terhadap cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif di dalam menjalankan pemerintahan negara.
Penambahan pengaturan asas- asas pembentukan peraturan perundang- undangan ke dalam UUD 1945 kelak akan mempermudah bangun argumentasi pengujian formil undang- undang di Mahkamah Konstitusi. Apabila hanya bergantung pada rumusan yang ada saat ini, maka pengaturan tersebut sangat tidak memadai karena hanya terbatas mengatur tentang lembaga yang berwenang dan alur pembahasan secara umum di Pasal 20 UUD 1945. Penulis mengusulkan agar setidaknya asas- asas pembentukan peraturan perundang- undangan pada Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 dimasukkan dalam agenda revisi Perubahan Kelima UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
- Asshiddiqie, Jimmly. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Konstitusi Press, Jakarta. 2006.
- Schwartz, Herman. The Struggle for Constitutional Justice in Post Communist Europe. 2002
- Simarmata, Jerowati. Pengujian Undang-Undang Secara formal Oleh Mahkamah Konstitusi: Apakah Keniscayaan? (Perbandingan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/ PUU-VII/2009).
- Jurnal Legislasi Indonesia Vol.14 No. 01 (Maret 2017).
- Siahaan, Maruarar. Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-undangan Negara Kita: Masalah
dan Tantangan. Jurnal Konstitusi Vol. 7 No. 4 (Agustus 2010) - Sumadi, Ahmad Fadil. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dalam Teori dan Praktik. Jurnal
Konstitusi Vol. 8 No. 6 (Desember 2011). - Widiarto. Implikasi Hukum Pengaturan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dalam Bentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi Vol. 16 No. 1 (Maret 2019).
- Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pedoman
Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. PMK No. 06/PMK/2005.
()