oleh : Yukiatiqa Afifah
Internship Advokat Konstitusi
Tim Khusus (timsus) berhasil mengamankan data rekaman CCTV saat peristiwa penembakan Brigadir Nopriansah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di rumah dinas eks Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo di Kompleks Polri, di Duren Tiga, Jakarta Selatan pada Jumat 8 Juli 2022. Penemuan ini menjadi kunci pengungkapan kasus tersebut. Oleh karena itu, pihak kepolisian akan mengumumkan hasil rekaman CCTV yang nantinya menjadi kunci hasil penyelidikan misteri penembakan Brigadir J tersebut.
“Kita sudah menemukan CCTV yang bisa mengungkap secara jelas tentang konstruksi kasus ini. Dan nanti akan dibuka apabila seluruh rangkaian proses penyidikan oleh timsus sudah selesai. Jadi dia tidak sepotong-potong, juga akan disampaikan secara komprehensif apa yang telah dicapai oleh timsus yang telah dibentuk oleh Bapak Kapolri,” ucap Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo, Kamis (21/7/2022).
Terkait informasi terkini penyelidikan rekaman CCTV tersebut, Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol Andi Rian Djajadi mengungkapkan progres penyelidikan rekaman CCTV yang tengah diperiksa di laboratorium forensik. Untuk itu Andi menegaskan pihaknya akan mengumumkan hasil rekaman CCTV yang nantinya menjadi kunci hasil penyelidikan misteri penembakan Brigadir J tersebut.
Lalu Bisakah CCTV dijadikan sebagai Alat Bukti dalam mengungkap kasus pidana?
CCTV seringkali menjadi petunjuk utama jika terjadi suatu kejadian, dimana tidak ada saksi pada saat peristiwa terjadi. Oleh karenanya, CCTV sering menjadi alat bukti elektronik dalam persidangan perkara pidana. Pada dasarnya pembuktian menjadi landasan bagi hakim dalam memutus sebuah perkara yang bertujuan untuk menemukan kebenaran peristiwa yang digunakan sebagai dasar putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum.
Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP diatur mengenai alat bukti yang sah dan dapat digunakan dalam pembuktian kesalahan pelaku tindak pidana, berupa, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Alat bukti yang sah merupakan alat bukti yang sesuai perundang-undangan yang berhubungan dengan peristiwa pidana. Alat bukti tersebut dapat digunakan untuk bahan pembuktian sehingga mampu menimbulkan keyakinan kepada hakim mengenai kebenaran adanya peristiwa pidana yang telah dilakukan terdakwa.
Seiring dengan perkembangan teknologi, pembuktian yang diajukan di dalam persidangan dapat menggunakan alat bukti elektronik. Alat bukti elektronik hadir sebagai perluasan dari alat bukti yang ditentukan oleh KUHAP. Sehingga, dapat digunakan dalam mengungkap suatu tindak pidana. CCTV termasuk sebagai pengertian informasi elektronik yang tertuang didalam UU No.19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada Pasal 1 angka 1 dan angka 4 yang sebagai alat bukti sah sesuai hukum acara yang berlaku.
Pada hukum acara pidana, CCTV bisa digunakan sebagai alat bukti pada proses penyidikan, penuntutan serta persidangan sesuai ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 UU ITE selama mempunyai keterkaitan antara keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Menurut UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik rekaman CCTV sebagai alat bukti menjadi pedoman seiring perkembangan zaman pada kejahatan di Indonesia. Menurut UU ITE, suatu informasi elektronik atau dokumen elektronik dinyatakan sah menjadi alat bukti, jika menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan di dalam UU ITE, yaitu sistem elektronik yang andal, aman, dan memenuhi persyaratan.
UU ITE telah mengatur adanya syarat formil dan syarat materil agar informasi dan dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah. Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE. Pasal tersebut berbunyi, syarat formil informasi atau dokumen elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Sedangkan syarat materil dijelaskan dalam Pasal 6, Pasal, 15, dan Pasal 16 UU ITE yang menjelaskan, informasi dan dokumen elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaannya. Hal ini untuk menjadi terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensiknya.
Dengan demikian, pengaturan CCTV sebagai alat bukti elektronik dalam tindak pidana tidak ada pada ketentuan KUHAP, namun pengaturannya terdapat dalam beberapa ketentuan perundang-undangan yang bersifat khusus, sebagaimana asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dan pengaturan hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
()