Mario Agritama
(Internship Advokat Konstitusi)
Keadilan restoratif atau restorative justice merupakan suatu cara pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara pidana melalui pemulihan. Konsep ini pada dasarnya lebih menitikberatkan pada adanya partisipasi atau ikut serta langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Sehingga pendekatan ini populer disebut juga dengan istilah non state justice system dimana peran Negara dalam penyelesaian perkara pidana menjadi kecil atau bahkan tidak ada sama sekali.
Hukum Pidana Indonesia
Permasalahan yang hadir dalam hukum pidana Indonesia selama ini, yakni rumusan di dalam KUHP maupun KUHAP mengenai perlindungan hukum dan hak asasi korban belum diatur secara optimal jika dibandingkan dengan pelaku atau tersangka. Misalnya saja, dalam KUHP masih kental akan aliran neoklasik seperti menerima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan pelaku tindak pidana. Sedangkan, posisi korban dalam KUHP belum diatur secara optimal.
Permasalahan a quo tidak dapat dilepaskan oleh fokus kajian hukum pidana sejauh ini yang hanya terletak pada perbuatan pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility), dan ancaman pidana. In Casu, fokus tersebut dipengaruhi paham Teori Absolut (vergeldingstheorien) yang dianut oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart dan Julius Stahl. Teori yang muncul pada akhir abad ke- 18 ini menganggap pembalasan merupakan legitimasi pemidanaan. Dalam teori ini secara tegas menyatakan pidana dijatuhkan kepada pelaku karena just deserts, bahwa mereka dihukum karena layak untuk dihukum atas perilaku tercela mereka. Konsep just desert di dalam retribusi mengacu pada ill-desert pelaku dan dapat terpenuhi melalui sesuatu bayaran yang negatif atau balas dendam pemidanaan.
Lebih lanjut, Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa penyelesaian perkara melalui sistem peradilan yang berujung pada vonis pengadilan merupakan suatu penegakan hukum (law enforcement) ke arah jalur lambat. Mengapa demikian, karena penegakan hukum itu melalui jarak tempuh yang panjang, melalui berbagai tingkatan mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi bahkan sampai ke Mahkamah Agung yang pada akhirnya berdampak pada penumpukan perkara yang jumlahnya tidak sedikit di pengadilan. Sehingga menyebabkan sistem peradilan pidana kurang maksimal dalam, implementasinya. Selain itu, keadilan yang diharapkan melalui jalan formal ternyata belum tentu mencerminkan rasa keadilan, karena bersifat mahal, berkepanjangan, melelahkan dan tidak menyelesaikan masalah serta yang lebih parah lagi adalah di dalamnya penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (Azhar, 2019).
Restorative Justice dan cita hukum Pancasila
Mengutip salah satu adagium dalam buku Prof. Eddy Hiariej dengan judul Prinsip-prinsip Hukum Pidana (2016: 31) terdapat suatu postulat le salut du people est la supreme, yaitu hukum tertinggi adalah perlindungan masyarakat. Artinya, hukum tertinggi yang merupakan perlindungan masyarakat meliputi nilai-nilai keadilan dan hak asasi yang dimiliki baik bagi pelaku, korban, dan masyarakat. Perlindungan tersebut wajib untuk dijunjung tinggi dan tidak boleh diabaikan.
Dengan menggunakan sistem pemidanaan Restorative Justice, Setidaknya dalam penyelesaian perkara pidana dapat melibatkan pelaku kejahatan, korban, dan pihak lain yang terkait untuk mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan (Hiariej, 2016: 44). Dengan Restorative Justice juga dapat menegakkan dasar filosofi dari penegakan hukum dan HAM berdasarkan cita-cita Pancasila, yaitu pada sila ke- 4 Pancasila. Sila tersebut memiliki kandungan falsafah permusyawaratan atau musyawarah yang memiliki makna mengutamakan musyawarah dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama.
Musyawarah untuk mencapai mufakat meliputi semangat kekeluargaan, sehingga jika di breakdown falsafah musyawarah mengandung lima prinsip sebagai berikut. Pertama, conferencing (bertemu untuk mendengar dan mengungkapkan keinginan); kedua, search solution (mencari solusi atau titik temu atas masalah yang sedang dihadapi); ketiga, reconciliation (berdamai dengan tanggung jawab masing-masing); keempat, repair (memperbaiki atas semua akibat yang timbul); kelima, circles (saling menunjang) (Prayitno, 2012: 414).
Berdasarkan kelima prinsip diatas, maka secara ketatanegaraan restorative justice menemukan dasar pijakannya dalam falsafah sila ke- 4 Pancasila. Dasar pijakan itu jika diimplementasikan dalam pola penyelesaian perkara pidana mengandung prinsip yang disebut dengan istilah VOC (Victim Of-fender Conferencing). Target dalam VOC (Victim Offender Conferencing) adalah mediasi atau VOM (Victim offender Mediation), yaitu kesempatan untuk berdamai dan saling menyepakati perbaikan. (Prayitno, 2012: 414))
Dalam konsep Restorative Justice juga mampu untuk menjawab berbagai masalah yang timbul dalam perkara hukum pidana, yaitu Pertama, kritik terhadap sistem peradilan pidana yang tidak memberikan kesempatan khususnya bagi korban (criminal justice system that disempowers individu). Kedua, menghilangkan konflik antara pelaku dengan korban dan masyarakat (taking away the conflict from them). Ketiga, fakta bahwa perasaan ketidakberdayaan yang dialami sebagai akibat dari tindak pidana harus diatasi untuk mencapai perbaikan (in order to achieve reparation).
Dengan demikian, penegakan hukum pidana kedepan tentunya dapat berdasarkan atas cita hukum Pancasila, yaitu terwujudnya keadilan bagi seluruh pihak tanpa adanya kerugian bagi salah satu pihak. Dengan ini juga dapat merubah paradigma yang digunakan dalam tujuan pemidanaan ialah untuk memperbaiki kerusakan yang bersifat individual dan sosial (individual and social damage) yang diakibatkan oleh pelaku tindak pidana (dader strafrecht). Mengingat, korban memiliki hak asasi untuk mendapatkan perbaikan, pemulihan, dan keadilan atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku. ()