RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak Masuk Prolegnas 2023 : Menalar Cuti Melahirkan Selama 6 Bulan

Oleh: Clarrisa Ayang Jelita

(Internship Content Creator @advokatkonstitusi)

Pada Juni 2022, Rancangan Undang Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) resmi menjadi RUU Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang masuk dalam daftar RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2023. RUU KIA mengandung total 9 bab dengan 44 pasal yang menjamin terpenuhinya hak dan kebutuhan dasar ibu dan anak dalam keluarga. Sehingga, dapat mengembangkan diri secara optimal melalui adaptasi, hubungan, pertumbuhan, afeksi, dan pemecahan sesuai fungsi sosial dalam perkembangan kehidupan masyarakat. Meskipun semangatnya melindungi hak anak dan perempuan, pembahasan ruu ini tetap menuai pro kontra dari masyarakat.

Pro dan kontra dari masyarakat muncul akibat perubahan pengaturan cuti melahirkan untuk pekerja perempuan yang mana sebelumnya diatur dalam pasal 82 Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya 1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan. Kemudian pada pasal 4 ayat (2) dan pasal 5 ayat (1) dan (2) RUU KIA diperpanjang menjadi minimal selama 6 bulan dengan gaji 3 bulan pertama dibayar penuh dan sisanya sebanyak 75% dari upah. Perubahan pengaturan cuti juga terdapat pada cuti pendampingan suami menjadi maksimal selama 40 hari yang sebelumnya hanya selama 2 hari cuti berbayar. Apabila terdapat pekerja perempuan mengalami keguguran dan didukung dengan keterangan dokter maka diberikan hak untuk cuti atau istirahat selama 1,5 atau sesuai anjuran dokter. Disamping itu juga diberikan cuti pendampingan suami selama 7 hari.

Peraturan terkait cuti melahirkan sebenarnya telah diatur di dalam UU ketenagakerjaan karena cuti tersebut termasuk dalam hak ketenagakerjaan. Hadirnya RUU KIA menyebabkan tumpang tindih dengan UU ketenagakerjaan. Mengingat asas lex posteriori derogat legi priori dimana UU yang lebih dulu terbit akan digugurkan oleh UU yang baru jika kedua UU tersebut memiliki norma yang sama. Sehingga, UU Ketenagakerjaan akan digantikan oleh RUU KIA apabila telah disahkan. Menurut Dr. Ida Susanti, SH. LL.M, dosen dan peneliti di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, peraturan cuti melahirkan termasuk dalam hak ketenagakerjaan maka seharusnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan untuk menghindari tercerai berainya hak-hak tentang ketenagakerjaan. Menurut beliau, RUU KIA cukup mengatur secara umum tentang hak cuti melahirkan, cuti keguguran dan cuti pendampingan istri yang melahirkan atau keguguran sebagai hak normatif. Kemudian, aturan lebih detail mengenai lamanya cuti, cara pengambilan cuti, konsekuensi finansial dari pembayaran cuti, penegakan dan pengawasan hak harusnya diatur dalam UU ketenagakerjaan.

Perubahan pengaturan cuti melahirkan pekerja perempuan tersebut memunculkan banyak sekali pertanyaan. Seperti yang kita lihat, selama ini banyak sekali perempuan yang kesulitan untuk melaksanakan cuti melahirkan selama 3 bulan karena takut di PHK atau takut dianggap sebagai beban ekonomi oleh suatu perusahaan. Kemudian, bagaimana bila aturan cuti melahirkan diperpanjang menjadi minimal selama 6 bulan semakin memperparah keadaan seperti memunculkan banyak perusahaan yang akhirnya tidak mau mempekerjakan perempuan. Semangatnya memang melindungi hak perempuan dan anak, namun perlu juga untuk memperhatikan aspek keberlangsungan usaha.

Organisasi buruh internasional menyatakan bahwa standar cuti melahirkan dapat diberikan selama 3 sampai 4 bulan. Muncul pertanyaan apakah perlu memperpanjang cuti melahirkan menjadi selama minimal 6 bulan. Frasa minimal dalam pasal 4 ayat (2) RUU KIA memberikan arti keharusan untuk pekerja perempuan melaksanakan cuti selama 6 bulan tanpa memperhatikan apakah pekerja masih membutuhkan waktu cuti dalam kurun waktu tersebut. Dengan demikian lebih baik jika cuti melahirkan diwajibkan selama 3 bulan pertama dan untuk 3 bulan selanjutnya bersifat opsional sesuai dengan kebutuhan masing-masing pekerja. Sehingga, lama waktu cuti melahirkan yang diberikan lebih proporsional untuk pihak pekerja maupun pemberi kerja.

Di negara Nepal, pekerja hanya dapat mengambil cuti melahirkan sebanyak 2 kali dalam masa hidup kerjanya dan di Negara Tanzania hanya dapat mengambil cuti sekali dalam 3 tahun. Aturan seperti belum tercantum dalam RUU KIA. Sehingga, perlu ditambahkan aturan periode cuti dalam kurun waktu tertentu untuk menghindari pekerja perempuan mengalami kehamilan setiap tahun atau terlalu sering dan mengancam keberlangsungan perusahaan. Permasalahan selanjutnya muncul dari sisi pemberian upah selama cuti melahirkan berlangsung. Siapa pihak yang membiayai upah cuti melahirkan tidak disebutkan dengan jelas dalam RUU KIA sehingga menimbulkan banyak pertanyaan.

Merujuk pada aturan UU Ketenagakerjaan, upah cuti melahirkan selama 3 bulan diberikan oleh pihak perusahaan atau pemberi kerja. Namun, terdapat kekosongan aturan dalam ruu kia untuk pihak siapa yang membayar upah 3 bulan selanjutnya karena total cuti melahirkan selama 6 bulan. Apabila pembayaran upah untuk 3 bulan selanjutnya tetap akan dibebankan kepada pemberi kerja, maka timbul kekhawatiran mengenai keberlanjutan usaha. Data organisasi buruh internasional menyatakan bahwa tidak semua negara menjadikan pengusaha atau pemberi kerja sebagai satu satunya pihak yang memberikan upah selama cuti melahirkan berlangsung. Di negara India, pihak yang memberi upah cuti melahirkan adalah pemberi kerja dan social security yang di Indonesia disebut juga dengan BPJS Ketenagakerjaan. Sehingga mungkin dapat diberlakukan aturan upah 3 bulan cuti pertama diberikan oleh pihak pemberi kerja dan 3 bulan selanjutnya oleh BPJS Ketenagakerjaan agar memperhatikan kedua belah pihak yaitu pekerja dan pemberi kerja.

Semangat dari RUU KIA dalam memperjuangkan hak ibu dan anak perlu mendapat dukungan dari semua pihak. Namun, substansi dalam aturan RUU KIA  mengenai berapa lama waktu cuti melahirkan, siapa pihak yang dibebankan untuk membayar upah cuti melahirkan, cara pengambilan cuti, konsekuensi finansial dari pembayaran cuti, penegakan dan pengawasan hak dan bagaimana keberlanjutan dari tumpang tindihnya aturan dalam UU Ketenagakerjaan dengan RUU KIA harus dibahas oleh DPR secara komprehensif. ()