oleh : Alfin Aulia Eki Saputra
(Internship Advokat Konstitusi)
emerintahan Indonesia dalam menjalankan fungsinya, khususnya dalam bidang sumber pembiayaan keuangan negara untuk kesejahteraan masyarakat, maka pemerintah atau negara memerlukan sumber penerimaan keuangan negara, salah satunya dari pajak. Di Indonesia, sebagai sumber terbesar penerimaan anggaran pendapatan belanja negara, pemungutan pajak sering menimbulkan sengketa. Sengketa yang timbul dari perpajakan dapat ditangani dan diselesaikan melalui pengadilan pajak. Sengketa pajak ini sering muncul atau timbul antara lain dikarenakan kesalahan persepsi dalam memahami peraturan pajak, perbedaan dalam sistem akuntansi dan keuangan, serta berbenturan peraturan pajak antara negara yang pada akhirnya terjadi perbedaan dalam penentuan tarif pajak yang dikenakan kepada wajib pajak. Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyatakan bahwa sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Pelaksanaan Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sejauh ini membawa perubahan yang cukup besar dalam sistem perpajakan di Indonesia yang awalnya menganut official assessment system (sistem pemungutan perpajakan yang memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan besarnya pajak terutang) menjadi self-assessment system. Berdasarkan self-assessment system, Wajib Pajak (WP) memberikan kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri sementara, disisi lain, otoritas perpajakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berperan sebagai penyuluh, pelayan, dan pengawas pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. Keberhasilan penerapan self-assessment system sangat tergantung pada tingkat kepatuhan wajib pajak dan efektivitas mekanisme pengawasan otoritas pajak. Berdasarkan Undang-Undang KUP, mekanisme pengawasan utama penegakan DJP adalah penelitian dan kajian. Pasal 1 Undang-Undang KUP mendefinisikan penelitian sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pemberitahuan dan lampirannya, termasuk menilai kebenaran penulisan dan perhitungannya.
Selain pembatasan dan memberikan rasa keadilan yang diberikan oleh Undang-undang Pengadilan Pajak, peraturan perpajakan Indonesia memberi wajib pajak ruang gerak yang sangat luas untuk bervariasi sesuai dengan kompleksitas materi yang dipersengketakan serta waktu dan biaya yang dialokasikan. Pasal 16 dan 36 Undang-Undang KUP mengatur tentang pembetulan, pengurangan atau pembatalan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan keputusan administratif (Surat Ketetapan Pajak dan Surat Perpajakan) melalui mekanisme “Peradilan Tata Usaha (Quasi-Yudicial/Quasi-Judicial)”. Ketidakbenaran dan pembatalan hasil pemeriksaan pajak tanpa menyampaikan pemberitahuan hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir dengan Wajib Pajak.
Cara lain untuk penyelesaian sengketa yang tersedia bagi wajib pajak adalah mengikuti prosedur hukum (pro justitia) yang diatur dalam Pasal 25 dan 27 Undang-undang KUP dan Pasal 77 Undang-undang Pengadilan Pajak. Melalui mekanisme ini, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas keputusan administratif (Surat Ketetapan Pajak dan pemotongan pajak pihak ketiga) kepada Direktur Jenderal Pajak, yang dapat dilanjutkan dengan prosedur banding di Pengadilan Pajak, dan sebagai upaya hukum khusus, tinjauan Mahkamah Agung. Forum penyelesaian sengketa paling terakhir yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak, khususnya untuk sengketa perpajakan yang berkaitan dengan penanaman modal dan transaksi internasional adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur dalam perjanjian internasional di bidang perpajakan (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda/P3B), investasi (Bilateral Investment Treaty/BIT), dan Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement/FTA) melalui prosedur persetujuan bersama (Mutual Agreement Process/MAP), negosiasi dan arbitrase internasional.
Penyelesaian sengketa pajak melalui arbitrase internasional tidak populer karena biaya yang cukup mahal untuk registrasi sengketa dan jasa pengacara serta tidak adanya lembaga arbitrase internasional yang khusus menangani sengketa perpajakan sehingga Wajib Pajak harus mendaftarkan sengketanya ke arbiter yang menangani sengketa perdagangan dan investasi secara umum seperti International Centre for Settlement of Investment Disputes dan United Nations Commission on International Trade Law. Namun kedepannya, penyelesaian sengketa pajak melalui arbitrase internasional akan mendapat banyak perhatian seiring dengan implementasi Base Erosion and Profit Shifting Action 14 melalui Multilateral Instrument yang mengamanatkan penyelesaian sengketa secara lebih efektif termasuk klausul untuk menerapkan mandatory binding arbitration dalam proses MAP.
Perselisihan yang terjadi akibat pajak, dapat diproses dan diselesaikan melalui Pengadilan Pajak. Sebagai lembaga yang ditunjuk untuk menyelesaikan semua kasus sengketa di bidang perpajakan maka Pengadilan Pajak mempunyai wewenangnya. Sengketa pajak dapat diselesaikan di Pengadilan Pajak yang bertindak dan berfungsi sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa pajak sesuai dengan amanat dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sedangkan Indonesia saat ini menganut Self Assessment system dengan memberikan keleluasaan bagi wajib pajak menghitung dan melaporkan pajaknya sendiri. Hal inilah yang dikemudian hari berpotensi menimbulkan sengketa pajak (tax dispute) karena interpretasi yang berbeda dalam menafsirkan komponen pembayaran pajak antara wajib pajak dengan fiskus. ()