Oleh: Ida Bagus Gede Putra Agung Dhikshita
Senin, 16 Agustus 2021 pada Sidang Tahunan MPR, Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan Presiden sebagai salah satu konvensi ketatanegaraan yang merupakan bagian dari peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-76 tahun. Salah satu yang menarik perhatian masyarakat adalah ketika Presiden mengenakan pakaian adat suku Baduy dari Lebak, Banten yang bernuansa hitam, pakaian dilengkapi topi dan tas kajo khas Baduy, selain itu, ia juga tampak mengenakan sandal, banyak yang memuji penampilan Presiden.
Namun, tak banyak yang juga menanyakan apakah Presiden sudah benar-benar melindungi masyarakat adat dengan kebudayaannya yang hingga saat ini belum mendapatkan perlindungan tanpa aturan undang-undang yang jelas. Selain itu, masyarakat utamanya para pemerhati ketatanegaraan juga tidak abai terhadap isi dari pidato kenegaraan yang disampaikan oleh Presiden di depan sidang tahunan MPR. Pidato kenegaraan yang disampaikan dengan lantang tanpa jeda oleh Presiden beberapa substansinya langsung menarik diskursus berbagai masyarakat.
Salah satu substansi pidato kenegaraan MPR yang menarik perhatian masyarakat adalah sinyalemen disetujuinya usulan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) MPR oleh Presiden. Berikut pernyataan Presiden terkait hal tersebut secara lengkap: “Saya mengapresiasi para anggota MPR RI, dengan Program Empat Pilarnya, yang terus konsisten memperkokoh ideologi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Agenda MPR untuk mengkaji substansi dan bentuk hukum Pokok-pokok Haluan Negara juga perlu diapresiasi untuk melandasi pembangunan Indonesia yang berkelanjutan lintas kepemimpinan”.
Pernyataan Presiden di atas, sudah cukup menunjukkan bahwa Presiden Jokowi mendukung rencana MPR untuk mengadakan PPHN sekaligus juga mendukung MPR melakukan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara terbatas, sesuai dengan yang disampaikan sebelumnya oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo. Lantas, bagaimana sebenarnya asal-usul dari PPHN ini? Desas-desus isu PPHN bukanlah hal yang baru dalam pergolakan hukum ketatanegaraan Indonesia. Beberapa kali Bamsoet, sapaan akrab Bambang Soesatyo mengungkapkan bahwa PPHN ini adalah “pekerjaan rumah” dua masa jabatan MPR (MPR periode 2009-2014 dan MPR periode 2014-2019) yang belum terselesaikan. Bamsoet menambahkan, adalah tugas MPR untuk meyakinkan partai politik dan pemerintah bahwa penting bagi bangsa Indonesia mempunyai pegangan agar mencegah negara tanpa arah.
Faktanya, sikap Presiden Jokowi ini berkelainan dengan pidato kenegaraan yang disampaikannya pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2019. Pada saat itu Presiden menyatakan bahwa arah kebijakan pemerintah ke depan sudah dirancang dan disusun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Penerapan GBHN tidak lagi adaptif denagn perkembangan zaman, sehingga dibutuhkan rencana kebijakan yang lebih responsive dalam bentuk RPJMN.
Pernyataan Presiden 16 Agustus 2021, menunjukkan bahwa Presiden telah mengubah sikapnya dalam hal PPHN dan amandemen terbatas UUD 1945. Dalam segmen acara “Bedah Pidato Kenegaraan Presiden” dalam youtube CNN Indonesia 16 Agustus 2021, Dini Shanti Purwono, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, mempertegas bahwa Presiden tidak akan menerima usul amandemen terbatas UUD 1945 apabila upayanya dilakukan dengan inkonstitusional.
Setujunya Presiden atas PPHN yang sekaligus menyatakan setujunya Presiden atas amandemen terbatas (asal tidak inkonstitusional) pada Pidato Kenegaraan sehari sebelum peringatan hari kemerdekaan, bukanlah hal yang mengagetkan. Hal itu karena sebelumnya memang telah ada kesepakatan antara Presiden maupun Ketua MPR mengenai pembahasan amandemen UUD NRI 1945 untuk menghadirkan PPHN yang merupakan domain dari MPR.
Keberadaan PPHN dan Amandemen Terbatas UUD 1945
Dalam pidatonya kemarin, Bamsoet menyatakan bahwa keberadaan PPHN yang bersifat filosofis penting untuk memastikan potret wajah Indonesia Masa Depan, 50-100 tahun yang akan datang, yang penuh dengan dinamika perkembangan nasional, regional, dan global sebagai akibat revolusi industri, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi. Keberadaan PPHN yang bersifat arahan dipastikan tidak akan mengurangi kewenangan Pemerintah untuk menyusun cetak biru pembangunan nasional baik dalam bentuk RPJP maupun RPJM.
PPHN akan menjadi payung ideologi dan konstitusional dalam penyusunan SPPN, RPJP, dan RPJM yang lebih bersifat teknokratis. Dengan PPHN, maka rencana strategis pemerintah yang bersifat visioner akan dijamin pelaksanaannya secara berkelanjutan tidak terbatas oleh periodisasi pemerintahan yang bersifat electoral. PPHN akan menjadi landasan setiap rencana strategis pemerintah seperti pemindahan Ibu Kota Negara dari Provinsi DKI Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur, pembangunan infrastruktur tol laut, tol langit, koneksitas antar wilayah, dan rencana pembangunan strategis lainnya. Namun demikian, untuk mewadahi PPHN dalam bentuk hukum Ketetapan MPR, sesuai dengan hasil kajian memerlukan perubahan Undang Undang Dasar. Oleh karenanya diperlukan perubahan secara terbatas terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya penambahan wewenang MPR untuk menetapkan PPHN.
Proses perubahan Undang Undang Dasar sesuai Ketentuan Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945 memiliki persyaratan dan mekanisme yang ketat. Oleh karenanya perubahan Undang Undang Dasar hanya bisa dilakukan terhadap pasal yang diusulkan untuk diubah disertai dengan alasannya. Dengan demikian perubahan terbatas tidak memungkinkan untuk membuka kotak pandora, eksesif terhadap perubahan pasal-pasal lainnya, apalagi semangat untuk melakukan perubahan adalah landasan filosofis politik kebangsaan dalam rangka penataan sistem ketatanegaraan yang lebih baik. Pernyataan inilah yang menjadi penutup laporan Ketua MPR.
Secara konkret baik Presiden maupun MPR telah sepakat bahwa pembahasan amandemen UUD 1945 secara terbatas tidak akan melebar ke hal yang lain, atau semacam membuka kotak Pandora. Konkritnya, amandemen terbatas UUD 1945 rencananya akan menambahkan dua ayat UUD 1945 yakni pada Pasal 3 dan Pasal 23 UUD 1945. Penambahan satu ayat pada pasal 3 nantinya akan memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN. Sementara penambahan satu ayat pada Pasal 23 mengatur kewenangan DPR menolak RUU APBN yang diajukan Presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN.
Amandemen Terbatas Untuk PPHN dari MPR, Perlukah?
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, dalam tempo.co menyatakan bahwa konstitusi sudah mengatur kewenangan MPR secara terbatas, yakni untuk mengubah dan mengesahkan UUD serta melantik dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden. Feri mengingatkan bahwa tidak ada klausul yang menyatakan MPR berwenang membentuk PPHN atau yang di era orde baru bernama GBHN. Ia juga menilai perubahan konstitusi amat berbahaya di tengah situasi politik yang sangat tidak demokratis seperti sekarang.
Menurutnya, bukan tak mungkin amandemen akan disertai upaya mengembalikan kewenangan-kewenangan yang tidak demokratis. Ia menyoroti potensi adanya upaya merusak tatanan yang sudah disepakati oleh para pendiri bangsa dan pelaku perubahan konstitusi setelah reformasi. Ia juga mensinyalir bahwa tindakan berikutnya adalah yakni usaha untuk menempatkan kembali kewenangan-kewenangan yang sangat oligarki dan tidak demokratis yang kemudian tujuannya untuk memperkuat dominasi politik tertentu dan menjauhkan publik dari kedaulatan mereka sendiri.
Di tempat yang lain, Direktur Eksekutif Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi pada kanal youtube CNN Indonesia menyampaikan bahwa ada beberapa hal yang harus dikritisi terkait PPHN yakni pertama, ide PPHN (dulu GBHN) sebenarnya merujuk pada pengalaman Uni Soviet dari jaman Soeharto untuk mewujudkan negara yang memiliki kebijakan sangat detail terkait dengan apa yang harus dilakukan negara tersebut. Hal ini berimplikasi pada beberapa hal yakni MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara karena MPR berwenang menetapkan PPHN, siapakah yang berhak menilai dan menghukum (impeachment) Presiden karena tidak melaksanakan PPHN yang ditentukan oleh MPR?
Hal inilah yang membawa implikasi ang patut dikritisi menurut Burhanuddin Muhtadi.Selain itu, ia juga terkesan sama dengan Feri Amsari yang ragu amandemen ini justru membuka kotak Pandora atas akibat situasi politik dan demokrasi di Indonesia saat ini. Meski demikian hal ini dibantah terus menerus oleh MPR karena amandemen tidak akan melebar selain penambahan kewenangan MPR untuk menetapkan PPHN.
Mekanisme amandemen UUD 1945 memang tidak dapat dilakukan secara serta merta. Hal tersebut sudah dikunci melalui Pasal 37 UUD 1945. Usul dari amandemen pun harus diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR atau paling sedikit 237 pengusul. Namun apabila memang terjadi upaya penghidupan PPHN (atau dulu GBHN) harus diperhatikan agar tidak kembali merusak sistem presidensial di Indonesia. Selain itu dengan model GBHN, Presiden hanya diposisikan sebagai pelaksana tugas sehingga esensi Presiden sebagai pemegang arah dan komando pembangunan menjadi hilang. Proses-proses amandemen UUD 1945 dipastikan akan memperburuk kinerja fungsi DPR utamanya fungsi legislasi DPR yang sebenarnya juga telah memiliki nilai merah dalam 5 tahun terakhir.
Wacana melahirkan kembali GBHN menurut Pusat Studi Hukum dan Konstitusi Indonesia saat ini hanya mengakomodasi kepentingan elite partai politik, dan tidak mengakar pada kebutuhan riil masyarakat. Hal ini terjadi karena proses yang berjalan sampai mewacanakan amandemen UUD 1945 tidak berakar dari permasalahan riil dalam masyarakat, bahkan cenderung mengenyampingkan argumentasi atau kepentingan yang menolak dilakukannya amandemen UUD 1945 untuk melahirkan kembali GBHN.
Melunaknya sikap Presiden kepada MPR dengan mengapresiasi langkah MPR membangkitkan kembali GBHN versi rename PPHN secara jelas memberikan sinyal bahwa Presiden juga menyetujui amandemen terbatas UUD 1945. Hal ini secara terang-terangan disampaikan menjelang hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-76. Kado yang indah untuk MPR yang tentunya telah lama menginginkan hal ini, namun masih menjadi misteri, apakah ini kado kemerdekaan yang indah juga bagi rakyat Indonesia saat ini? ()