“Spill The Tea” Pelecehan Seksual di Media Sosial, Terjerat UU ITE?

Oleh: Clarrisa Ayang Jelita

(Internship Content Creator @advokatkonstitusi)

Seiring berkembangnya kemajuan teknologi dan komunikasi, beberapa orang mulai menggunakan media sosial sebagai platform serbaguna. Salah satunya untuk speak up soal pelecehan seksual yang dialami oleh korban. Korban pelecehan seksual seringkali tidak menerima dukungan dari aparat penegak hukum bahkan korban juga diminta untuk mengumpulkan bukti sendiri. Sehingga, Korban memilih untuk meminta pertolongan dan dukungan masyarakat lewat media sosial.

Terdapat sisi positif dan negatif ketika speak up di media sosial mengenai pelecehan seksual yang dialami oleh korban. Sisi positif yang terjadi dapat kita lihat ketika korban pelecehan seksual menceritakan kejadian yang menimpanya dengan membeberkan identitas pelakunya. Hal tersebut mengakibatkan korban pelecehan seksual lainnya memiliki keberanian untuk mencari keadilan. Dengan begitu, apabila terdapat predator pelecehan seksual yang memiliki korban lebih dari satu akan lebih mudah dibuktikan.  

Ketika Melapor ke pihak yang berwenang, korban pelecehan seksual seringkali mendapatkan perilaku yang tidak seharusnya. Seperti mendapatkan pertanyaan mengenai pakaian apa yang dikenakan ketika mengalami pelecehan seksual. Seakan-akan  penyebab terjadinya pelecehan tersebut  adalah salah korban dalam memilih pakaian. Bahkan, tidak jarang korban sendiri yang diminta untuk mencari bukti oleh penegak hukum. Hal ini sangat miris sehingga banyak korban yang meminta pertolongan lewat sosial media agar mendapat dukungan masyarakat.

Perlakuan aparat penegak hukum yang tidak seharusnya itu dapat kita lihat dalam kasus seseorang berinisial MS. MS mengalami pelecehan seksual oleh seniornya di kantor sejak tahun 2012. Namun, MS baru memiliki keberanian untuk melapor perkara tersebut ke kepolisian pada 2019. Laporan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian dan menganjurkan korban untuk menyelesaikan perkara pelecehan tersebut secara internal dengan melapor ke atasan. Kejadian yang sama terjadi pada Mar, warga paesamoen, NTT. Mar menerima penyerangan seksual oleh Komar dan melaporkan hal tersebut ke pihak yang berwajib. Namun, korban malah diminta untuk mencari saksi tambahan oleh penyidik kepolisian dan korban tidak mendapatkan tanda terima laporan sebagaimana lazimnya sebuah kasus.

Tidak hanya sisi positif namun terdapat sisi negatif dari speak up pelecehan seksual di sosial media. Salah satu sisi negatifnya adalah korban pelecehan seksual seringkali mendapat tuntutan balik oleh terduga pelaku. Korban seringkali menyebutkan identitas terduga pelaku atau tidak jarang warganet yang menebak nebak atau mencari siapa terduga pelaku lewat petunjuk yang diberikan oleh korban. Hal ini membuat korban dapat dituntut balik dengan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait pencemaran nama baik. 

Pasal 27 Ayat (3) UU ITE mengatur bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik. Contoh kasus yang pernah terjadi menimpa seorang perempuan bernama Nuril yang merupakan korban pelecehan seksual verbal. Pada akhirnya menjadi tersangka dan dijerat Pasal 27 Juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) oleh terduga pelaku. Putusan Kasasi Nomor 574K/Pid.Sus/2018 menyatakan Nuril bersalah dan mendapat hukuman 6 bulan penjara dan denda sebesar Rp500 juta, subsider 3 bulan kurungan.

Berlakunya Pasal 27 ayat (3) UU ITE menjadikan korban pelecehan seksual menderita 2 kali. Pasal ini tidak memberikan batasan terhadap indikator pencemaran nama baik sehingga muncul pertanyaan apabila yang disampaikan korban adalah fakta apakah akan tetap memenuhi delik pencemaran nama baik. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 50/PUU-VI/2008 yang menjadi  landasan dalam pembentukan SKB 3 Menteri oleh Kemenkominfo, Polri, dan Kejagung. SKB 3 Menteri tersebut pada akhirnya menjadi pedoman terkait implementasi dan interpretasi pasal dalam UU ITE, termasuk pasal 27 ayat (3). 

Sejak berlakunya SKB 3 Menteri tersebut Muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya konten adalah suatu penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau kenyataan maka tidak masuk pada delik Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sehingga perlu dibuktikan terlebih dahulu kebenaran pelecehan seksual yang terjadi  melalui pengadilan, sebelum dapat dituntutnya korban dengan UU ITE. ()