oleh : Muhammad Rafi Abdussalam
(Internship Advokat Konstitusi)
Isu kesehatan mental Kembali menjadi perhatian publik setelah mencuatnya kasus seorang ayah yang tega memutilasi anaknya di sosial media. Belum lama ini polisi membekuk seorang pria berinisial A pada Senin 13/6/2022. Pria yang diduga ODGJ itu tega membunuh anak kandungnya sendiri di Parit IV, Jalan Raya Pekanbaru-Tembilahan, Kecamatan Tembilahan Hulu. Berkaca pada kasus tersebut, kita dapat mengetahui betapa pentingnya kajian mengenai isu Penyakit Kejiwaan dalam hukum pidana di Indonesia.
Pengertian penyakit kejiwaan sendiri terbagi kedalam dua kategori yaitu Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dan Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Hal ini termaktub dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa pada Pasal 1 Ayat 1. Melanjutkan ayat sebelumnya, Pasal 1 Ayat 2 dan Pasal 1 Ayat 3 berisi tentang pengertian ODMK dan ODGJ.
Pasal 1 Ayat 2 UU 18/2014:
“Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) adalah individu yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa.”
Pasal 1 Ayat 2 UU 18/2014:
“ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.”
Mencermati kedua pasal di atas, dapat diketahui bahwa ODMK dan ODGJ memiliki kondisi kesehatan jiwa yang kurang atau tidak sehat sehingga memiliki resiko tinggi untuk melakukan perilaku menyimpang yang berujung pada tindak pidana.
Berbicara tentang tindak pidana tentunya tidak terlepas dari kata “Pertanggungjawaban”. Pertanggungjawaban merupakan sebuah tindakan yang harus dilakukan oleh pelaku tindak pidana akibat dari tindakannya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak mencantumkan secara khusus pengertian mengenai pertanggungjawaban. Kemampuan bertanggungjawab berhubungan dengan Pasal 44 KUHP yang mengatur mengenai keadaan seseorang yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya.
Amanat Pasal 44 Ayat 1 menyatakan:
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit penyakit tidak dipidana;”.
Mengacu pada amanat Pasal 44 Ayat 1 tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tidak setiap orang yang melakukan tindak pidana dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana. Asas geen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan) adalah basis dalam menentukan pertanggungjawaban pidana yang berkorelasi dengan penjatuhan sanksi.
Demi mewujudkan keadilan, terdapat penjatuhan sanksi khusus terhadap terpidana dengan gangguan kejiwaan. Aturan mengenai sanksi untuk terpidana dengan gangguan kejiwaan termaktub dalam Pasal 44 Ayat 2 yang menyatakan:
“Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.”
Mengacu pada formulasi pasal 44, dalam suatu kasus tindak pidana, hanya hakim yang diberikan wewenang untuk menentukan/memutus ada atau tidaknya penyakit kejiwaan pada pelaku tindak pidana. Namun, dalam menjalankan wewenangnya, hakim tidak bisa serta merta memutus bahwa terpidana memiliki penyakit kejiwaan. Untuk menentukan seseorang terdakwa/terperiksa secara psikiatri (kejiwaan) terganggu jiwanya, diperlukan bukti berupa keterangan ahli psikiatri dan dokumen tertulis (Visum et Repertum Psychiarticum).
Terpidana yang diduga memiliki gangguan kejiwaan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan jiwa. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 71 Ayat 1 UU 18/2014 yang menyatakan bahwa:
“Untuk kepentingan penegakan hukum, seseorang yang diduga Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang melakukan tindak pidana harus mendapatkan pemeriksaan kesehatan jiwa.”
Pemeriksaan kesehatan jiwa adalah serangkaian kegiatan dari pelayanan kesehatan jiwa yang dilakukan untuk menilai kondisi kesehatan jiwa seseorang (Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 77 Tahun 2015). Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk memastikan kapasitas mental seseorang dalam memahami kepatutan dan konsekuensi dari perbuatannya ketika melakukan tindak pidana.
Sebuah kesimpulan dapat diambil bahwa tidak semua terpidana bisa dikenai beban pertanggungjawaban pidana. Namun, semua tindak pidana yang dilakukan dapat dikenai sanksi yang patut. Pada korelasinya terhadap isu penyakit kejiwaan, KUHP telah mengatur sanksi khusus pada ODGJ yang melakukan tindak pidana. Amanat Pasal 44 KUHP memberikan wewenang kepada hakim untuk memutus bahwa terpidana memiliki penyakit kejiwaan serta memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Terpidana yang diduga memiliki gangguan kejiwaan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan jiwa sesuai dengan Pasal 71 Ayat 1 UU 18/2014. ()