Sulitnya Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia, Masyarakat Intoleran atau Regulasi bersifat Diskriminatif

Oleh: Clarrisa Ayang Jelita

(Internship Content Creator @advokatkonstitusi)

Pendirian rumah ibadah di Indonesia pertama kali diatur dalam Surat Keputusan Bersama Dua Menteri Nomor 1/BER/mdn-mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya (selanjutnya disebut SKB 2 Menteri). pada perkembangannya, SKB 2 Menteri kemudian diganti dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 (selanjutnya disebut Perber 2 Menteri) yang mengatur lebih detil mulai dari persyaratan pendirian rumah ibadah, rumah ibadah sementara, izin sementara pemanfaatan gedung, hingga kelembagaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Namun, muncul kritik bahwa Perber 2 Menteri memiliki kelemahan-kelemahan dalam substansi pengaturannya apabila didasarkan pada problematika yang muncul mengenai pendirian rumah ibadah. 

Adanya persyaratan pendirinan rumah ibadah mulai dari daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa hingga rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dalam Perber 2 Menteri berpotensi memunculkan diskriminasi. Problematika muncul jika rumah ibadah didirikan di wilayah dengan tingkat toleransi yang rendah, maka persyaratan tersebut akan sulit untuk dipenuhi dan rumah ibadah tidak ddapat didirikan. Hak kebebasan beragama dan menjalankan ajarannya merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapa pun (non derogable rights). 

Hal tersebut dijamin oleh Undang Undang Dasar (UUD) dan diakui secara internasional dimana Pasal 4 jo Pasal 22 UU No 39 tahun 2009 tentang HAM jo Pasal 29 UUD 1945, menyatakan bahwa Indonesia adalah negara berdasar atas ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agamanya. Pendirian rumah ibadah merupakan bagian dari kemerdekaan tiap penduduk untuk beribadat sesuai dengan agamanya. Sehingga, apabila kita melihat bahwa harus adanya regulasi dan peran pemerintah mengenai pendirian rumah ibadah maka tujuannya adalah untuk menghindari konflik sosial dalam masyarakat dan mempermudah masyarakat dalam menjalankan ajaran agamanya. Namun sebaliknya, dengan adanya regulasi tidak menjamin akan terhindarnya konfik sosial terlebih lagi apabila regulasinya kurang tepat. Sehingga, memunculkan potensi diskriminatif yang signifikan dari penganut agama mayoritas  terhadap penganut agama minoritas yang mencoba untuk mendirikan rumah ibadah. 

Di dalam Perber 2 Menteri aturan mengenai pendirian rumah ibadah mengandung beberapa syarat khusus yang harus dipenuhi dan hal tersebut akan menjadi hambatan bagi kaum penganut agama minoritas. Terutama jika penganut agama minoritas tersebut tinggal di lingkungan masyarakat yang memiliki sikap intoleran terhadap agama yang berbeda. Di Indonesia secara nasional memanglah umat islam menjadi kaum penganut agama mayoritas. Namun, di daerah-daerah tertentu umat islam justru menjadi minoritas. Dengan demikian, setiap umat beragama di Indonesia terlepas dari agama tertentu dapat menjadi mayoritas atau minoritas di tempat yang berbeda. Adanya persyaratan dukungan secara kuantitatif tersebut dalam kasus tertentu dapat menimbulkan problematika baru jika dijadikan lahan bisnis. Kelompok tertentu akan memberikan dukungan apabila panitia pembangunan rumah ibadah membayar sejumlah uang. Jika tidak begitu pembangunan rumah ibadah akan dihambat hingga dukungan yang sudah terkumpul akan dipermasalahkan. 

Dari tahun ke tahun secara berulang terjadi penolakan pendirian rumah ibadah pada banyak daerah di Indonesia. Terdapat berbagai pembenaran untuk tindakan intoleran penduduk sekitar seperti rumah ibadah tidak memiliki izin. Perber 2 menteri yang menimbulkan problematika diskriminasi dalam pendirian rumah ibadah juga didukung oleh pemerintah daerah yang tidak berusaha menekan kelompok intoleran, melainkan menyudutkan kaum minoritas. Sejak 2007 hingga 2018 berdasarkan data setara institue, terdapat ratusan kasus penolakan dan penyerangan pendirian rumah ibadah. Kasus tertinggi adalah penolakan dan penyerangan pendirian gereja yaitu 199 kasus, kemudian disusul oleh pendirian masjid dengan 133 kasus. Terlebih lagi, data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menunjukkan dalam 10 hingga 15 tahun terakhir terjadi sekitar 500-600 pengaduan terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan, khsusnya dalam kasus pendirian rumah ibadah. 

Fakta ini menunjukkan bahwa persyaratan dukungan secara kuantitatif belaka berpotensi untuk diselewengkan. Hal ini disebakan peran serta masyarakat dalam pendirian rumah ibadah hanya diukur dari jumlah dukungan tetapi mengabaikan pendapat warga secara kualitatif terhadap keberadaan rumah ibadah yang akan didirikan dan ada tidaknya dampak pendirian rumah ibadah tersebut bagi lingkungan. Menjadi pertanyaan mengapa sikap intoleransi tersebut harus di akomodasi oleh undang-undang sehingga masyarakat yang memiliki sikap intoleran memiliki payung hukum dan sikap intoleransi mereka dapat terlaksana secara legal.  Indonesia merupakan negara yang mengamini perbedaan dan mengakui adanya 6 agama, seharusnya peraturan yang mempersulit warga untuk beribadah atau menjalankan agamanya dihapuskan.

Sejauh ini belum terdapat gugatan uji materi Perber 2 menteri pada Mahakamah Agung (MA). Perlu adanya upaya pengajuan uji materi ke MA berdasarkan problematika yang muncul selama berlakunya Perber 2 menteri tersebut. Pendirian rumah ibadah memang lebih baik jika ada regulasi yang mengatur agar masyarakat memiliki pedoman dan standarisasi secara administratif dalam pendirian rumah ibadah. Sehingga, tetap perlu aturan mengenai pendirian rumah ibadah namun dengan substansi yang berbeda dari perber 2 menteri. Regulasi mengenai pendirian rumah ibadah seharusnya tidak hanya menilai peran warga secra kuantitatif, melainkan secara kualitatif. Apabila terdapat warga yang tidak setuju dengan pendirian rumah ibadah tersebut dapat mengemukakan argumentasinya. Sehingga, pendirian rumah ibadah tidak membutuhkan dukungan warga dalam jumlah tertentu.

Dasar argumentasi penolakan pendirian rumah ibadah juga harus berdasarkan kondisi kondisi tertentu yaitu pendirian rumah ibadah tidak boleh menggangu kepentingan umum yang lebih besar. Sebagai ilustrasi, pendirian rumah ibadah tidak dapat diterima karena perencanaannya belum matang mengenai lahan parkir dan sebagainya sehingga berpotensi menggangu lingkungan atau kepentingan umum. Sehingga, dasar argumentasi penolakan pendirian rumah ibadah tidak berdasarkan dasar teologis atau prasangka sosial. Pembaruan terhadap regulasi pendirian rumah ibadah juga perlu mempertimbangkan aspek aparat penegak hukum agar regulasi tersebut dapat berjalan tanpa adanya pengaruh dan tekanan dari kelompok intoleran. ()