Oleh : Dion Kristian Cheraz Pardede
Internship Advokat Konstitusi
Uji materi undang-undang cukup jamak kita temui dalam perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi. Konstitusionalitas suatu Undang-Undang yang telah disahkan memang dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi sesuai dengan kewenangan yang secara atributif diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 24C. Namun, terdapat persoalan yang lebih kompleks ketika kemudian Uji Materi (Judicial Preview) dilakukan terhadap Undang-Undang Ratifikasi suatu Perjanjian Internasional.
Memang Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 memungkinkan Perjanjian Internasional diratifikasi dengan Keputusan Presiden pula, di samping Undang-Undang. Pasal 10 UU Perjanjian Internasional menyebutkan, Perjanjian Internasional arus diratifikasi melalui Undang-undang jika berhubungan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Perjanjian Internasional yang materinya di luar dari keenam hal di atas ratifikasi dilakukan dengan Keputusan Presiden. Karena diratifikasi lewat Undang-Undang, maka dimungkinkan pulalah pengujian (Judicial Review) terhadap Undang-Undang Ratifikasi oleh Mahkamah Konstitusi.
Hal demikian pernah terjadi dalam Pengujian Undang-Undang No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN (ASEAN Charter). Pemohon menganggap secara substansial, Piagam ASEAN bertentangan dengan Pandangan Dasar ekonomi Indonesia sebagaimana Pasal 33 UUD 1945.
Dalam putusannya, MK menolak permohonan tersebut, bukan memutuskannya ‘tidak dapat diterima’. Artinya, Mahkamah Konstitusi mengamini secara kelembagaan ia berhak menguji Undang-Undang yang meratifikasi Perjanjian Internasional. Walau terdapat dissenting opinion dari Hakim Konstitusi Maria Farida dan Hamdan Zoelva yang berpendapat menguji substansi perjanjian internasional bukanlah kewenangan MK, sehingga seharusnya majelis hakim memutuskan permohonan ‘tidak dapat diterima’.
Dari putusan tersebut, dapat dipahami bahwa MK menganut paham dualisme dalam memandang hubungan hukum internasional dengan hukum nasional. Di mana hukum internasional hanya dapat berlaku apabila diratifikasi secara formal ke dalam hukum nasional.Hal tersebut agaknya dapat mengganggu kinerja Kementerian Luar Negeri sebagai ujung tombak diplomasi (Shidarta, 2020).
Mari kita bayangkan ketika misalnya MK menyatakan suatu Undang-Undang Ratifikasi inkonstitusional. Maka mau tidak mau, Indonesia harus mundur dari Perjanjian Internasional tersebut. Dan perlu diingat, tidak semua Perjanjian Internasional memuat ketentuan pengunduran diri bagi para pihak penandatangan perjanjian. Problematis.Pikirkan pula konsekuensi diplomatis yang sangat mungkin terjadi apabila Indonesia mundur dari Perjanjian Internasional.
Maka, mudah dipahami bahwa wewenang MK melakukan judicial review terhadap Undang-Undang, bagi Undang-Undang Ratifikasi akan melahirkan problematika yang kompleks. Maka, perlu memikirkan opsi lain guna meminimalisir hal tersebut.
Judicial Preview
Sebagaimana dapat dilihat dalam judul, penulis berpendapat judicial preview merupakan salah satu opsi yang dapat diambil guna mengatasi tabrakan antara pandangan dualisme MK sebagai penafsir terakhir konstitusi dengan pandangan monisme Kementerian Luar Negeri sebagai ujung tombak diplomasi.Memang harus diakui diskursus tentangnya tidaklah terlalu jamak. Mungkin karena memang belum terdapat Putusan di mana MK menyatakan suatu Undang-Undang Ratifikasi inskonstitusional.
Namun sepanjang Undang-Undang Ratifikasi dipandang dapat diuji dengan skema Judicial review, maka tetap terdapat celah untuk MK ‘mengganggu’ kinerja diplomasi, bahkan setelah Indonesia meratifikasi suatu Perjanjian Internasional.Salah satu masalah yang dapat teridentifikasi adalah Ketentuan mengenai hirarki Peraturan Perundang-undangan dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Namun tidak ada penjelasan mengenai kedudukan Perjanjian Internasional dalam hukum nasional. Jika ratifikasi perjanjian internasional diwujudkan melalui Undang-Undang, maka terhadap Undang-Undang tersebut dapat dilakukan pengujian (Judicial Review) dengan konsekuensi undang-undang tersebut yang dinyatakan batal demi hukum dan melanggar konstitusi atau UUD 1945 Republik Indonesia. Pembatalan Undang-Undang Ratifikasi dapat menimbulkan implikasi buruk bagi politik internasional dan melemahkan posisi Kementerian Luar Negeri, yang merupakan garis depan diplomasi negara.
Lalu mengapa Judicial Preview dapat menjadi solusi?
Seperti namanya, Judicial Preview berkaitan dengan peninjauan substansi regulasi (dalam hal ini Perjanjian Internasional sebelum diratifikasi. Hal ini dapat memastikan suatu Perjanjian Internasional tidak bertentangan dengan konstitusi dan hukum Indonesia sebelum diratifikasi. Akan sangat tidak efektif apabila suatu Perjanjian Internasional telah terlebih dahulu diratifikasi dan kemudian harus dibatalkan karena inkonstitusional.
Dengan dilaksanakannya Judicial Preview, keharmonisan antara Perjanjian Internasional dengan Konstitusi akan mengharmoniskan pula kebijakan diplomasi Indonesia dengan kebijakan hukum nasionalnya.
Berkebalikan dengan Judicial Review; Judicial Preview dilakukan sebelum Perjanjian Internasional diratifikasi oleh Undang-Undang, yang mana memastikan suatu Perjanjian Internasional tidak bertentangan dengan Konstitusi. Dengan Judicial Preview, tidak ada mekanisme pembatalan Ratifikasi, karena memang belum dituangkan dalam Undang-Undang.
Hal ini, memang tidak serta merta menunjang politik internasional. Namun paling tidak, tidak akan muncul preseden buruk yang mungkin dihasilkan oleh pembatalan ratifikasi atau kemungkinan kebuntuan untuk mundur dari Perjanjian Internasional yang kadung ditandatangani dan diratifikasi. Singkatnya, ini adalah jalan tengah mungkin pula win-win solution bagi perbedaan pandangan dualisme Mahkamah Konstitusi dengan Kementerian luar negeri yang cenderung berpandangan monisme.
Pemberian wewenang Judicial Preview kepada Mahkamah Konstitusi
Pertanyaan selanjutnya, siapa yang berwenang melakukan Judicial Preview?
Tentu saja oleh The last Interpreter of Constitution yang dalam konteks Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi. Rusia, Jerman, Hungaria, Amerika Serikat, Italia dan Ekuador adalah contoh negara yang memberikan kewenangan Judicial Preview menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, atau Mahkamah Agung kewenangannya termasuk seperti yang dimiliki Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Shidarta, dkk., 2017).
Memberikan wewenang Judicial Preview kepada Mahkamah Konstitusi dapat menunjang mekanisme checks and balance di Indonesia. Karena, dengan melibatkan Mahkamah Konstitusi (baca: Lembaga negara yudikatif), maka keterlibatan Indonesia dalam Perjanjian Internasional tidak lagi hanya berkutat pada ranah Eksekutif (Negosiasi), dan Legislatif (Ratifikasi).
Namun, untuk itu harus ditempuh mekanisme amendemen terbatas konstitusi untuk menambah kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dan tentunya merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Dan untuk beberapa hal, perlu pula revisi Undang-Undang Perjanjian Internasional.
Menurut rumusan ‘kasar’ penulis, model Judicial Preview yang dapat diadopsi adalah sebagai berikut. Pertama yang harus dilakukan adalah mengatur dalam Undang-Undang Perjanjian Internasional bahwa Judicial Preview oleh Mahkamah Konstitusi adalah tahapan wajib bagi Ratifikasi Perjanjian Internasional.
Lalu, dalam UU PI dan juga UU MK diatur pula bahwa Kementerian Luar Negeri adalah satu-satunya pemohon yang memiliki Legal Standing untuk mengajukan Judicial Preview. Hal ini sesuai dengan tujuan atau persoalan yang ingin dipecahkan dengan mengadakan Judicial Preview, yakni mendamaikan perbedaan pandangan Kemenlu dan MK terhadap pemberlakuan Perjanjian Internasional ke dalam hukum nasional, dan juga mengharmoniskan kebijakan diplomasi dan kebijakan hukum nasional.
Untuk hukum acara yang lebih terperinci, penulis merasa hal tersebut biarlah tetap terbuka seiring dengan pematangan konsep Judicial Preview di Indonesia. ()