Oleh : Rania Fitri

Rusaknya lingkungan karena ulah manusia selalu menjadi perhatian dari berbagai pihak. Seperti yang tengah ramai diperbincangkan pada berbagai media, bahwa kawasan hutan di Ranca Upas Kabupaten Bandung mengalami kerusakan. Rusaknya hutan tersebut diketahui pasca diselenggarakannya acara offroad motor trail  pada 5/03/2023 lalu. Beredar pula video yang memperlihatkan kerusakan lahan edelweiss rawa. Merespon peristiwa ini, kritik dari masyarakat dan pemerhati lingkungan menyasar pada pemerintah daerah, Perhutani, serta panitia penyelenggara. Artikel ini akan membahas bagaimana pertanggungjawaban ketiganya terhadap peristiwa ini.

Pada dasarnya hutan beserta isinya dilindungi oleh hukum, salah satunya melalui Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan). Pasal 3 UU Kehutanan menyatakan bahwa perlindungan, penghormatan, pemeliharaan, dan penggunaan hutan dengan tanggung jawab adalah kewajiban setiap orang. Namun, dalam persoalan ini perlu dilihat tanggung jawab dari perhutani, pemerintah,  dan panitia penyelenggara.

“Benang” pertanggungjawaban ini sebetulnya dapat dilihat secara langsung pada Perhutani dan panitia penyelenggara. Namun, pemerintah dalam hal ini memiliki keterlibatan, khususnya dalam konteks pengaturan. Pasal 6 UU Kehutanan membebankan kewajiban kepada pemerintah untuk memberikan perlindungan, pemeliharaan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari dan berkelanjutan. Pemerintah disini merujuk pula pada pemerintah daerah. Kewajiban tersebut diantaranya dilaksanakan melalui pengaturan perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 48 UU Kehutanan. 

Apabila ditarik ke dalam konteks peristiwa ini, maka pengaturan mengenai izin penyelenggaraan kegiatan di hutan, dapat menjadi muatan pengaturan yang dimaksud dalam Pasal 48. Penulis sendiri masih belum menemukan adanya peraturan perundang-undangan yang relevan terkait izin untuk menyelenggarakan kegiatan di hutan, yang sifatnya bukan bisnis maupun pembangunan. Karena izin ini dikeluarkan oleh Perhutani sebagai pengelola wilayah, maka selanjutnya kita bisa melihat segi tanggungjawab pihak lainya, yaitu Perhutani.

Perhutani merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pada dasarnya Pasal 252 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, membebankan pelaksanaan dan tanggung jawab perlindungan kawasan hutan kepada Perhutani sebagai BUMN pengelola. Pemberian izin kegiatan offroad tentu memiliki hubungan dengan tanggung jawab perlindungan hutan oleh Perhutani. Oleh karena itu, Perhutani seharusnya dapat mengelola perizinan ini dengan baik. 

Hal ini dapat dijelaskan pula dari segi hukum adminitrasi negara. Pada praktiknya dalam sengketa tata usaha negara, BUMN dipersamakan dengan badan pemerintahan. Oleh karena itu, ada kewajiban dari pejabat BUMN untuk tunduk pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. 

Berdasarkan Pasal 39 Ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan menyebutkan bahwa izin adalah Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang diterbitkan sebagai persetujuan sebelum kegiatan dilaksanakan.  Kegiatan yang akan dilaksanakan salah satunya memerlukan perhatian khusus. Menarik pada konteks peristiwa ini, izin penyelenggaraan kegiatan di hutan memerlukan perhatian khusus, sebab menggunakan hutan yang notabene nya dilindungi. Pemberian izin ini menuntut kehati-hatian pejabat pemerintahan dalam memberikan izin. Secara tegas Pasal 39 Ayat (6) UU AP  menyatakan bahwa izin tidak boleh menyebabkan kerugian negara. 

Tidak dapat dilupakan pula bahwa Perhutani juga harus menerapkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), khususnya kebermanfaatan. Berdasarkan penjelasan pasal 10 UU AP, kemanfaatan adalah asas yang mengharuskan dipertimbangkanya manfaat secara seimbang antara kepentingan individu yang satu dengan individu yang lain, kepentingan individu dengan masyarakat, kepentingan warga masyarakat dan masyarakat asing, kepentingan kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain, kepentingan pemerintah dengan warga masyarakat, kepentingan generasi sekarang dengan yang akan datang, kepentingan manusia dengan ekosistemnya, dan kepentingan pria dan wanita. Adanya peristiwa kerusakan hutan ini menjadi gambaran, bahwa Perhutani mempertimbangkan dengan baik manfaat dalam pemberian izin untuk acara offroad trail ini. 

Seharusnya Perhutani dapat menilai dari jumlah peserta, teknis acara, dan lainya. Apakah kegiatan offroad tersebut akan memiliki dampak buruk terhadap hutan atau tidak, perlu dilihat  sebelum memberikan izin. Masih pada hubungan dalam perizinan, maka panitia penyelenggara adalah pihak yang diberikan izin. Selanjutnya pembicaraan beralih pada bagaimana tanggung jawab dari penerima izin.  ()