Cancel Culture untuk Pejabat Publik, Mungkinkah?

oleh: Risa Pramiswari

Internship Advokat Konstitusi

Istilah cancel culture sedang menjadi tren dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Secara sederhana, cancel culture berarti “budaya pengenyahan”, “budaya penolakan”, atau “boikot massal”. Umumnya, istilah ini digunakan untuk mengekspresikan penolakan atau berhenti memberi dukungan terhadap seseorang yang biasanya berprofesi sebagai seorang publik figur karena dianggap tidak pantas atau mereka telah berbuat sesuatu kesalahan maupun kekeliruan. Maraknya penggunaan media sosial mengakibatkan cancel culture tidak hanya ditujukan kepada publik figur, tetapi juga pejabat publik yang kerap kali dianggap tidak cakap melaksanakan tugas dan wewenangnya. 

Mencari pejabat publik yang amanah itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami, sulit untuk ditemukan. Isu mengenai moral memang masih menjadi persoalan pelik yang melekat pada pejabat publik dan belum bisa dituntaskan. Faktor penyebabnya pun bermacam-macam, seperti aturan yang multitafsir, aparat penegak hukum yang lemah, konflik kepentingan oknum tertentu, dan lain sebagainya. Sejarah mencatat Indonesia telah berhasil melaksanakan pemilihan umum (pemilu) yang paling demokratis pada tahun 1955 dan pemilu selanjutnya akan dilaksanakan tahun 2024 untuk memilih pejabat publik yang nantinya akan menempati posisi tertentu dalam pemerintahan, tentunya masyarakat berharap pilihannya akan berbuah manis dan dapat menjalankan amanah yang seharusnya. Namun, masyarakat justru seringkali tertipu dengan berbagai macam topeng yang dikenakan oleh calon pilihannya.