Menilik Aneka Kontroversi Dalam Pasal 162 Revisi UU Minerba

Oleh : Rahadyan Fajar Harris

Internship Advokat Konstitusi

UU No. 3 Tahun 2020 tentang Revisi UU Minerba yang disahkan oleh pemerintah sama sekali tidak melegakan masyarakat, khususnya daerah sekitar area pertambangan. Bagaimana tidak? Perlindungan hak masyarakat atas lingkungan pada sektor pertambangan yang seharusnya dipenuhi oleh pemerintah, masihlah belum ditampakkan dalam kedua undang-undang pertambangan mineral batu bara, baik yang lama, maupun baru. Terlebih, kedua undang-undang tersebut justru menjustifikasi adanya ekosida atau perusakan lingkungan akibat aktivitas penambangan secara massif.

Hal itu dikarenakan, norma-norma regulasi dalam UU tersebut begitu memanjakan industri pertambangan dengan memangkas aneka birokrasi perizinan guna mempermudah aktivitas penambangan serta iming-iming royalty 0% apabila berkontribusi positif pada pendapatan negara. Sedangkan di lain pihak, kondisi lingkungan hidup dan hak masyarakat tidaklah dijamin secara berimbang di dalam UU tersebut. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan keadilan dalam Revisi UU Minerba tersebut.

Dari sekian banyak kecacatan dalam penormaan Revisi UU tersebut, ada satu pasal yang dinilai amat membahayakan masyarakat. Terlebih, bagi mereka yang menjadi justisiabelen dalam perkara pertambangan dan lingkungan. Pasal tersebut ialah Pasal 162 yang menyatakan bahwa setiap orang yang dianggap “merintangi” jalannya aktivitas penambangan, diancam dengan pidana kurungan paling lama setahun dan/atau denda sebesar seratus juta rupiah. Pasal ini sejatinya sudah terdapat di dalam UU Minerba sebelumnya, yakni UU No. 4 Tahun 2009, dan masih dipertahankan di dalam Revisi UU Minerba. Sehingga, dapat disimpulkan apabila pasal tersebut merupakan sebuah delik pidana dalam undang-undang ini, dikarenakan memuat ancaman hukuman pemidanaan.