Pencabutan Laporan Berakibat Hapusnya Pidana?

Oleh: Maizi Fahdela Agustin

Pasca penetapan Rizky Billar sebagai tersangka pada kasus KDRT pada Rabu (12/10/22), Lesti Kejora sebagai pelapor atas Kasus KDRT yang dilakukan oleh suaminya (RB) tersebut memutuskan untuk mencabut laporanya dari Polres Metro Jakarta Selatan. 

Pencabutan laporan tersebut diketahui setelah kuasa hukum Rizky Billar pada Kamis, (13/10/2022) memperlihatkan surat perdamaian yang telah ditandatangani oleh Lesti Kejora yang secara garis besar berisi pernyataan diantara keduanya saling memaafkan. Dengan kata lain antara Lesti Kejora dan Rizky Billar sudah berdamai.

Dalam hal pencabutan laporan dan adanya upaya damai (Restorative Justice) yang telah dilakukan, menyisakan pertanyaan yakni apakah dengan pencabutan laporan oleh Lesti Kejora dapat menghilangkan Pidana yang telah dilakukan? Ini mengacu pada kenyataan bahwa meskipun telah dilakukan perdamaian dan pencabutan laporan namun, Rizky Billar masih tetap ditahan.

Kewenangan Penyidik dalam Penyelesaian Delik Aduan

Sebelum membahas apakah pencabutan laporan dapat menghapus pidana atau tidak, perlu untuk diketahui apakah suatu perkara termasuk kepada delik aduan atau delik biasa.

Delik aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari korban. Dengan kata lain, Penyidik memiliki kewajiban memproses perbuatan Pidana tersebut berdasarkan pengaduan dari korban. Dalam hal ini, korban atau pelapor dapat mencabut kembali laporannya sebagaimana terdapat dalam pasal 75 KUHP.

Sementara, delik biasa adalah delik yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan, hal ini berarti meskipun tidak dilaporkan oleh korban atau sudah ada upaya damai, Penyidik tetap berkewajiban untuk melanjutkan proses perbuatan pidana yang telah dilakukan. 

Lalu apa kaitanya dengan Penghapusan pidana?

Pencabutan Laporan pada delik dan penghapusan Pidana

Dalam kaitanya dengan pembahasan mengenai kasus KDRT, pada Pada pasal 51 s/d pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dijelaskan bahwa kekerasan fisik dan psikologis apabila tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari maka digolongkan kepada delik aduan, begitu juga dengan kekerasan seksual yang dilakukan kepada orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga juga termasuk kepada delik aduan. 

Proses hukum yang dilakukan berdasarkan kepada delik aduan, apabila telah dicabut oleh korban atau pelapor, penyidik bisa melakukan pemberhentian proses perkara, dengan kata lain pidana dari pelaku dapat dihapuskan. Lebih lanjut, pasal 75 Kitab Undang- undang Hukum Pidana menjelaskan bahwa Pencabutan pengaduan ini dapat dilakukan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan dan dikecualikan pada kasus-kasus tertentu, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) No.1600K/Pid/2009 sehingga pelapor dapat mencabut laporanya meskipun waktunya sudah lewat dari 3(tiga) bulan.

Lalu, bagaimana dengan delik biasa? Apakah pidananya bisa dihapuskan?

Pada dasarnya suatu perkara yang termasuk dalam ranah delik biasa, pidana yang diterima tidak dapat dihapuskan. Meskipun Pelapor telah mencabut laporanya, maka proses hukum tetap dilanjutkan. Namun, beberapa kasus dalam delik biasa dapat dihapuskan dengan penyelesaian Restorative Justice yang mengedepankan pemulihan keadaan semula dan menghormati hak-hak individu yang mendasar, meskipun tindakan yang dilakukan tidak dapat dibenarkan. Adapun yang perlu digaris bawahi adalah keberlakuan Restorative Justice tidak dengan munculnya perlukaan berat dan hilangnya nyawa.

Mengapa setelah perdamaian Penyidik masih melakukan penahanan?

Dari penjelasan di atas apa yang disangkakan ke RB dan mengapa setelah perdamaian Penyidik masih melakukan penahanan terhadap tersangka maka, dapat digunakan dua pandangan yakni:

  1. Pasal 44 ayat 1 Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 yang disangkakan ke RB menjelaskan bahwa setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga diancam penjara paling lama lima tahun dan denda 15 juta rupiah, dalam hal ini jika  kekerasan fisik apabila tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari maka dapat digolongkan kepada delik aduan.
  2. Pasal 75 KUHP menjelaskan bahwa Pencabutan pengaduan ini dapat dilakukan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan. Proses pencabutan aduan harus mengajukan pencabutan resmi terlebih dahulu disertai dengan dokumen pencabutan yang mana pada tahapan berikutnya, penyidik akan memberikan jeda waktu untuk memastikan pihak pelapor tidak berubah pikiran. 

Jeda waktu ini ditentukan oleh penyidik dan tidak ada patokan khusus. Jeda diberikan agar hukum memiliki kepastian, jangan sampai setelah di cabut tiba-tiba ada aduan lagi untuk masalah yang sama. Apabila dalam jeda waktu tersebut tidak ada perubahan pernyataan dari pihak pelapor, dengan kata lain pelapor tetap  mencabut laporan dari polisi, maka penyidik akan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Sejak adanya pencabutan laporan hingga proses menuju SP3, tersangka bisa dilepaskan dengan adanya surat penangguhan penahanan atau tahanan kota. Tetapi, penyidik juga bisa tetap menahan yang bersangkutan.

Kesimpulan

Jadi, hapus atau tidaknya suatu tindak pidana setelah laporan dicabut didasarkan kepada jenis delik atau tindak Pidana yang dilakukan apakah delik biasa atau delik aduan. Suatu tindak pidana dapat dihapuskan apabila tergolong kepada delik aduan. Adapun dilakukannya penahanan terhadap tersangka  bertujuan untuk memberikan jeda waktu kepada terlapor demi terwujudnya sebuah kepastian hukum. Beda halnya dengan delik biasa, meskipun laporannya telah dicabut oleh pelapor, proses hukum tetap berlanjut. Namun, pada kasus tertentu pidana juga dapat dihapus berdasarkan kepada Restorative Justice dengan ketentuan tidak berakibat perlukaan berat dan hilangnya nyawa. ()