Oleh : Desi Fitriyani/Internship Advokat Konstitusi
Peraturan Mahkamah Agung yang menjadi pembicaraan krusial saat ini ialah Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang–Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut PERMA No 1/2020. Bagaimana tidak, penerapan pemidanaan terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor tersebut menuai pro dan kontra ditengah para akademisi hukum hingga masyarakat, akan adanya implikasi disparitas hakim yang mencolok. Dimana dalam kasus yang relatif sama, namun hukuman yang diberikan sangat berbeda. Disparitas pidana ini pun membawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum (Wahyuni, 2017: 138). Dengan adanya disparitas yang mencolok pada putusan hakim, MA mengeluarkan PERMA No 1/2020 untuk mengatasi probelematika tersebut.
Perlu digaris bawahi bahwa, dengan hadirnya PERMA ini tidak serta merta membuat disparitas menjadi hilang. Disparitas akan tetap terjadi karena masih adanya unsur pemberat dan meringankan sehingga perbedaan penjatuhan masa hukuman tetap dapat berbeda. Salah satu niat baik dari hadirnya PERMA No 1/2020 pasal 5 ayat (3) menuntut hakim untuk menguraikan fakta-fakta persidangan dalam bentuk naratif dalam pertimbangan putusannya sehingga sekalipun terjadi disparitas, disparitas yang dilahirkan adalah disparitas yang proporsional. Dimana disparitas yang didasari oleh penjelasan hakim sehingga masyarakat mengerti dan puas atas penjelasannya. Sehingga peluang hakim untuk menyalahgunakan kewenangannya tidak akan terjadi lagi melalui PERMA No 1/2020 ini.
Mengganggu Independensi Hakim?
Pihak yang kontra terhadap PERMA No 1/2020 ini akan menyatakan bahwa dengan berlakunya ketentuan tersebut, maka akan mengganggu Independensi hakim. Namun, nyatanya hal tersebut tidaklah demikian. Mengapa? karena hakim kendatipun berpedoman pada PERMA No 1/2020, namun juga harus memberikan alasan yang dinarasikan ke dalam putusannya mengapa menjatuhkan hukuman tersebut. Selain itu dalam Pasal 20 PERMA No 1/2020 yang menyatakan bahwa Pedoman Pemidanaan tidak mengurangi kewenangan hakim untuk menjatuhkan pidana tambahan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, maka jelas bahwa hadirnya PERMA No 1/2020 tidak mengganggu independensi hakim karena secara tegas dalam pasal tersebut bahwa hakim juga dapat menjatuhkan pidana lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kemudian hakim tetap dapat menggunakan pertimbangannya terkait keadaan yang memberatkan ataupun yang meringankan sebagaimana dalam Pasal 13 PERMA No 1/2020. Justru hadirnya PERMA ini akan memudahkan tugas hakim, sesuai dengan salah satu tujuan hadirnya PERMA No 1/2020 dalam Pasal 3 PERMA No 1/2020.
Jelas yang dikatakan independensi hakim adalah ketika hakim dapat dengan bebas dalam memeriksa dan mengadili perkara dan bebas dari campur tangan atau kekuasaan ekstra yudisial. Hadirnya PERMA sama sekali tidak mencampuri urusan hakim dalam hal memeriksa dan mengadili perkara. Pada dasarnya hadirnya PERMA ini sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya dikarenakan timbulnya disparitas yang mencolok. Timbulnya disparitas yang mencolok ini akan menimbulkan ketidakadilan tentunya.
Hal ini dikarenakan dalam kasus yang kurang lebih sejenis, seringkali terjadi disparitas. Akibatnya hukuman terhadap koruptor menjadi inkonsisten. Berdasarkan penelitian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI-FHUI), dari sekitar 600 perkara tipikor ternyata ditemukan paling banyak adanya disparitas pemidanaan itu terjadi pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor (Akbari, Saputro, dan Mabrun, 2017: 53).
Hadirnya PERMA No 1/2020 ini akan menghilangkan disparitas mencolok, karena nantinya pidana yang dijatuhkan dapat dipertanggungjawabkan dari segi keadilan, proporsional, keserasian, dan kemanfaatan. Terutama bila dikaitkan antara satu perkara dan perkara lain yang serupa sesuai dengan PERMA No 1/2020 ini. Pihak yang kontra menilai bahwa independensi hakim akan terganggu dengan adanya PERMA No 1/2020 ini, karena harus mengacu pada pedoman yang ada sehingga tidak bebas untuk menggunakan penilaiannya.
Kontra menilai bahwa hakim itu bersifat mandiri yang artinya tidak bergantung kepada siapapun agar putusannya objektif. Pihak pro pun mengamini bahwa hakim bersifat mandiri. Justru dengan adanya PERMA, maka hakim dalam menjatuhkan putusannya akan lebih objektif. Karena bukan hal yang baru bahwa hakim pun pernah di suap sebagaimana rangkaian kasus yang telah dinarasikan dalam penjelasan sebelumnya, oleh karena itu PERMA No 1/2020 ini juga akan mengawasi hakim.
Melihat tujuan dari PERMA No 1/2020 yang sangat mulia, maka untuk memaksimalkan pedoman pemidanaan, penulis merekomendasikan penambahan ketentuan dalam PERMA No 1/2020 mengenai konversi uang pengganti. Ketiadaan pola penjatuhan penjara pengganti atas uang pengganti tentu dapat menjadi indikator kuat adanya masalah disparitas dalam penjatuhan pidana pokok dalam perkara korupsi. Ketiadaan pola itu sendiri juga dapat berkontribusi pada kemungkinan terjadinya disparitas pemidanaan jika seandainya pun terhadap pidana pokok tidak terdapat masalah disparitas pemidanaan.
Mengapa demikian? karena penjara pengganti pada akhirnya juga akan menentukan berapa total hukuman yang akan dijalankan oleh Terdakwa. Kemudian keadaan disparitas putusan Hakim yang tidak hanya berada pada Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, maka penulis merekomendasikan kepada pembuat kebijakan untuk menerbitkan pedoman pemidanaan untuk kasus korupsi yang termuat dalam UU Tipikor selain untuk Pasal 2 dan 3 UU Tipikor.
DAFTAR PUSTAKA
- Akbari, A.R. dkk. (2017). Memaknai dan Mengukur Disparitas :Studi Terhadap Praktik Pemidanaan Pada Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : MaPPI FHUI.
- Wahyuni. 2017. Penerapan Sanksi Pidana Di Bawah Ancaman Minimum Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Katalogis. 5 (6), hlm. 137-145.
- Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang–Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
()