Oleh : Andriansyah
(Internship Advokat Konstitusi)
Organisasi Kemasyarakat (Ormas) merupakan perwujudan dari adanya hak konstitusional untuk berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 28E Ayat (3). Kendati demikian, Ormas dapat saja dibubarkan. Hal ini sesuai dengan pembatasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J UUD NRI 1945. Pembatasan-pembatasan yang dimaksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil, sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Perlindungan hak untuk berserikat, berkumpul, dan menyalurkan pendapat tersebut merupakan salah satu ciri dalam sebuah negara hukum demokrasi (democratische rechtsstaat). Dimana suatu peraturan hukum dibuat tidak boleh hanya untuk kepentingan segelintir orang penguasa, melainkan harus menjamin kepentingan dan rasa keadilan kepada semua orang tanpa terkecuali (Jimly, 2011:132). Tidak dapat dapat dipungkiri bahwa suatu produk hukum dalam penciptaannya melalui proses politik. Oleh sebab itu, hadirnya demokrasi atau hukum yang demokratis adalah untuk mencegah produk hukum digunakan sebagai alat untuk melegalisasi tindakan pemerintahan saja yang dapat menimbulkan otoritarianisme dan menisbikan keadilan, serta penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia (Janedjri, 2012:12)
Pembubaran Ormas saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut UU a quo. Rasio legis lahirnya UU a quo ini adalah untuk mengatasi aktivitas Ormas yang dinilai menyimpang dari nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI 1945, terkhususnya Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada saat itu. Hal ini pula yang menjadi alasan pemerintah untuk membatasi penggunaan hak kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Perbedaan yang paling mendasar pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013 dengan UU a quo adalah hilangnya peran pengadilan untuk turut serta dalam memutuskan pembubaran Ormas. Hal ini dapat dilihat dengan dihapuskannya Pasal 68 yang pada Pasal 68 Ayat (2) menguraikan bahwa, “Sanksi pencabutan status badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran Ormas berbadan hukum.”
Hilangnya peran pengadilan dalam proses pembubaran Ormas merupakan bentuk kemunduran dari negara hukum demokrasi. Hal ini dikarenakan menyimpangi asas keseimbangan dalam pembagian kekuasaan (check and balance), dimana hadirnya pengadilan adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan secara merdeka tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik. Selain telah mencederai prinsip check and balance, hal demikian juga telah menyimpangi prinsip due process of law (kebenaran dan ketepatan proses dalam hal ini pelaksanaan hukum) (Mohammad, 2019: 34), dimana pembelaan hak-hak asasi manusia semakin dikekang dengan tidak adanya kesempatan untuk membela dan membuktikan kesalahan dalam sebuah proses peradilan.
Menurut Bagir Manan, terdapat empat ciri dari negara hukum demokratis yang terdiri dari adanya pembatasan kekuasaan, pelaksanaan fair trial sebagai wujud kekuasaan kehakiman, pemerintahan diselenggarakan berdasarkan hukum bukan bleid kecuali jika sesuatu hal yang terpaksa (compelling interest), dan pelaksanaan hak asasi manusi secara wajar (Mohammad, 2019: 37-38). Menilik apa yang diuraikan Bagir Manan, keberadaan UU a quo sekarang dapat dibenarkan berdasarkan terjadinya suatu hal yang terpaksa atau mendesak.
Namun, permasalahan yang muncul selanjutnya adalah hukum yang diciptakan di masa mendesak tersebut, kini bersifat umum dan berkepanjangan serta berlaku dalam keadaan apapun. Apakah hukum yang diciptakan dalam keadaan tidak normal dapat diterapkan dalam keadaan normal? Tentu hal ini menjadi kontradiksi karena sudah barang tentu dalam sebuah hukum yang tidak normal tersebut telah mengurangi suatu hak dalam hal ini mencederai konsep berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Oleh sebab itu, keberadaan hukum yang mengatur tentang Ormas saat ini perlu untuk ditinjau kembali.
DAFTAR PUSTAKA
- Ali, M.M. 2019. “Tafsir Konstitusi: Menguji Konstitusionalitas dan Legalitas Norma”. Raja Grafindo Persada: Depok
- Asshiddiqie, J. 2011. “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia”. Sinar Grafika: Jakarta
- Gaffar, J.M. 2012. “Demokrasi Konstitusional: Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945”. Konstitusi Press: Jakarta
()