Oleh: Ida Bagus Gede Putra Agung Dhikshita
(Internship Advokat Konstitusi)
Jagat hukum Indonesia akhir- akhir ini sedang ramai membicarakan problematik UU ITE setelah mengemukanya statement Presiden Jokowi yang disampaikan pada saat Rapat Pimpinan TNI-Polri yang digelar di Mabes Polri, Jakarta, 15 Februari yang lalu. Presiden menyatakan apabila UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, Presiden akan meminta DPR untuk bersama- sama merevisi UU ini (cnnindonesia.com/18/02/2021).Pasal karet yang menyebabkan penafsiran berbeda- beda yang disebutkan oleh Presiden tersebut sudah bertahun-tahun dikaji dan dikritik pemberlakuannya oleh ahli hukum maupun penggiat HAM, hingga tak terhitung entah berapa korban yang dijerat pidana UU ini.
Masih segar ingatan kita dengan kasus yang menimpa Baiq Nuril seorang guru honorer, yang akhirnya berujung amnesti dari Presiden Tahun 2019 lalu. Nyatanya, political will Presiden ditanggapi buruk oleh beberapa pihak, misalnya Analis Politik Exposit Strategy, Arif Susanto menyebut wacana ini hanya sebatas alat pencitraan pemerintah atas indeks demokrasi yang menurun.Tanpa mengesampingkan tujuan sebenarnya dari statement Presiden yang ditanggapi serius juga oleh DPR sebagai pembentuk UU, tidak ada salahnya kembali ke belakang (flashback) untuk sedikit mengingat bagaimana proses pembentukan maupun perubahan pertama UU ITE.
Flashback ini selanjutnya akan dikaji dalam perspektif politik hukum yang bertumpu pada proses pembuatan garis kebijakan hukum (legal policy) yang harus menjawab 3 hal yaitu, bagaimana kebijakan tersebut diinisiasi, tarik menarik kepentingan politik apa yang terjadi, dan bagaimana implementasi dari kebijakan hukum tersebut. Hal ini menarik untuk dikaji karena UU adalah produk dari lembaga yang dipilih langsung melalui pemilu, yang mana orang-orang yang dipilih, mewakili kepentingan dan ideologi politik partainya masing-masing.Proses pembentukan UU akan memperlihatkan bagaimana diskursus kepentingan politis maupun hukum yang terjadi sehingga yang terjadi seharusnya adalah logika dasar, apapun yang diproses dengan baik akan memiliki hasil yang baik juga.
Inisiasi Kebijakan UU ITE.
Hal pertama yang dikaji adalah berkaitan dengan bagaimana kebijakan tersebut diinisiasi yang secara konkret tertuang dalam cetak biru (blue print) atau yang disebut Naskah Akademik (N.A.) dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan yang mana wajib ada dalam suatu Rancangan UU yang akan disahkan menjadi UU. Dari N.A. inilah secara jelas dilihat bagaimana landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dari suatu RUU itu sendiri. N.A. juga sering disebut sebagai cetak biru karena menggambarkan cita hukum yang ingin dituju oleh negara lewat UU yang akan diberlakukan. Lantas bagaimana inisiasi kebijakan dari UU ITE?
Kejahatan teknologi informasi dapat dikatakan baru, karena ditemukannya di dunia maya, tidak seperti kejahatan konvensional yang dilakukan tanpa media elektronik. Terdapat 3 (tiga) pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace, pertama adalah pendekatan teknologi, kedua pendekatan sosial budaya-etika, dan ketiga pendekatan hukum. Pendekatan hukum dalam bentuk tersedianya hukum positif akan memberikan jaminan kepastian dan sebagai landasan penegakan hukum (law enforcement) jika terjadi pelanggaran. (Ahmad:2004:1)
Ketiadaan regulasi terkait kejahatan teknologi informasi yang menimbulkan persoalan rumit dalam proses pembuktian adalah alasan mendasar mengapa UU ITE menjadi produk legislasi pertama di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik. UU ITE ini mengalami perjalanan yang panjang mulai dari rancangan hingga menjadi UU. Pemerintah telah melakukan pengkajian mendalam sebelum mengusulkan pembentukan UU ini, dimulai Tahun 2001 kemudian Tahun 2004 hingga Tahun 2005, RUU ITE ini dilakukan sosialisasi dan pembahasan hingga kemudian berakhir ke panitia kerja yang melakukan rapat sebanyak 26 kali mulai dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2008. Singkat cerita RUU ini pada tanggal 25 Maret 2008 disetujui oleh 10 Fraksi di DPR kemudian ditetapkan menjadi UU. (Soemarno:2008:7). Sementara RUU Perubahan UU ITE ini dibahas panitia kerja Komisi I DPR dengan Pemerintah selama hampir 6 (enam) bulan. RUU ini disetujui oleh 10 fraksi di Komisi I DPR pada tanggal 20 Oktober 2016 dan disetujui dalam Rapat Paripurna yang digelar di Gedung DPR pada tanggal 27 Oktober 2016.
Catatan khusus terkait dengan politik hukum UU ITE dalam hal inisiasi kebijakan adalah ditemukannya fakta bahwa rumusan mengenai ketentuan pencemaran nama baik tidak tercantum dalam naskah akademik dan risalah pembahasan RUU ITE di DPR. Pasal ini muncul tiba-tiba tanpa diniatkan apalagi direncanakan, tapi pada proses akhir pasal ini muncul, atau dengan kata lain ini merupakan pasal gaib dan imbasnya menjadi polemik di masyarakat sampai sekarang (Supriyadi:2017:89). Catatan lain dalam UU ITE khususnya pada perubahan pertamanya adalah kukuhnya pemerintah dan DPR untuk tetap mempertahankan pasal karet yang telah menjerat banyak korban. Alih-alih mencabut atau memperjelas ketentuannya, legislator justru hanya menurunkan ancaman pidana dan denda, meskipun sedikit menambahkan penjelasan, ketentuan tersebut tetap berpotensi besar mengancam kebebasan berekspresi.
Dari penjelasan singkat inisiasi kebijakan pembentukan UU ITE, Pemerintah sebenarnya memang memiliki tujuan khusus terbukti UU ITE ini disiapkan dalam kurun waktu yang lama, namun tujuan baik ini seakan-akan dinodai oleh asal-usul pasal yang menjadi polemik dari UU ITE hingga saat ini. Kita dapat membuktikan bersama bahwa memang dalam Naskah Akademik RUU ITE, tidak satupun pasal yang memuat aturan mengenai pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Tarik menarik kepentingan politik UU ITE.
Dalam analisis politik hukum, tarik menarik kepentingan politik sebenarnya menjadi esensi dari politik hukum itu sendiri. Esensi ini terwujud secara konkret dalam proses legislasi yang mana proses ini merupakan ‘dapur’ dari bagaimana UU itu dibuat. Dalam proses legislasi di Indonesia terdapat tahap pembahasan dan persetujuan. Proses pembahasan dan persetujuan menjadi serangkaian proses yang sangat penting karena dilalui dengan proses panjang yang diatur oleh UU P3. Dalam proses inilah diharapkan ada hal teknokratis dan substantif yang dibawa oleh Presiden, dan hal politis dan aspiratif yang dibawa oleh DPR.
Faktanya, berdasarkan hasil pembahasan di dalam rapat panitia khusus di DPR yang dimulai pada tanggal 17 Mei 2006 dan diakhiri dengan rapat final tanggal 19 Maret 2008, tidak ada satupun pembahasan yang membahas mengenai perlunya mengatur mengenai pencemaran nama baik melalui media elektronik di UU ITE. Namun secara mengejutkan, pada saat disahkannya ketentuan mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tersebut muncul tiba-tiba di dalam pasal 27 ayat (3). Sementara dalam Proses pembahasan RUU Perubahan UU ITE dilakukan secara tertutup dari pantauan masyarakat karena tidak ada satupun sidang pembahasan RUU yang dinyatakan terbuka oleh Pimpinan Komisi I dan Pimpinan Panja Komisi I (icjr.or.id:27/10/206).
Hal ini sebenarnya sudah tentu terjadi karena berdasarkan observasi dan analisis dari tarik menarik kepentingan politik pembentukan UU ITE, pembentukannya lebih di framing pada hal-hal yang berkaitan dengan internet dan terpisah dengan diskursus HAM. Hal ini bisa dilihat dari aktor utama masyarakat yang terlibat dalam pembahasan UU ITE, aktor utamanya bukanlah organisasi masyarakat sipil (OSM) HAM, tetapi komunitas teknis, media pers, dan asosiasi bisnis. Adapun dinamika politik yang bertemu adalah isu yang bertemu politik praktik jangka pendek yaitu isu pornografi (Indri: 2021).
Dari penjelasan diatas, wajar saja bahwa tidak ada yang mampu menemukan kepentingan politis dan hukum apa yang mendasari ketentuan mengenai pencemaran nama baik. Hal ini dikarenakan selain tidak adanya diskursus yang mendalam mengenai hal ini, tidak dilibatkannya masyarakat juga membuat rumusan pasal tersebut justru menjadi pasal karet dalam masyarakat.
Implementasi Kebijakan UU ITE
Tujuan dibentuknya UU ITE ini adalah untuk mendukung pengembangan teknologi informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan teknologi informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai- nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia. Namun, pada pelaksanaannya ketentuan di dalam Pasal 27 ayat (3) pada satu sisi justru ditujukan untuk melindungi hak- hak dan reputasi orang lain dan di sisi lain juga dianggap sebagai upaya kontrol yang kuat oleh pemerintah terhadap pandangan dan hak masyarakat dalam berekspresi. Selain itu, adanya duplikasi tindak pidana dengan ketentuan yang ada di KUHP akan mengakibatkan tumpang tindih dengan konsekuensi utama ketidakpastian hukum.
Menurut Herlambang P. Wiratraman (Peneliti Hukum dan HAM LP3ES), dalam praktiknya, penafsiran dalam UU ITE telah terjadi beragam dan tak terhindarkan, karena penafsiran berhubungan dengan kepentingan, kebutuhan, dan basis pengetahuan empirikalnya. Kemudian nalar apa yang nyatanya diimplementasikan dalam UU ITE? adalah dominasi nalar positivisme yaitu cara berpikir yang mengandalkan formalisme hukum (lex scripta menuju lex certa). Hal ini mengakibatkan bekerjanya penegakan hukum ITE yang hanya memenuhi unsur-unsur pasal dan mengesampingkan nilai-nilai di luar pasal (keadilan sosial, kritik atas kekuasaan, demokrasi, dan tradisi kebebasan). (Herlambang:2021)
Hasil perubahan terhadap UU ITE di satu sisi menunjukkan bahwa UU ITE ini merupakan hukum prospektif atau hukum yang berlaku kedepan. Mengingat UU ini tidak lagi relevan dan akomodatif dengan perkembangan teknologi. Tetapi dari sisi yang lain, menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR sebagai otoritas pembentuk Undang- Undang, belum mampu sepenuhnya mengintegrasikan berbagai komitmen dan prinsip hak asasi manusia khususnya dalam materi UU ITE. Hal ini juga memperlihatkan kegagapan pembentuk kebijakan dalam menghadapi perkembangan baru dan pemanfaatan internet dengan sangat cepat (elsam.or.id/29/11/2016).
Konklusi
Menkopolhukam Kabinet Indonesia Maju, Mahfud MD yang juga dapat dikatakan sebagai peletak penelitian politik hukum di Indonesia menegaskan bahwa konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang ortodoks. Produk hukum yang konservatif/ortodoks/elitis isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah yang bersifat positivis instrumentalis yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara. (Mahfud MD:2020:32).
Melalui analisis politik hukum diatas dapat kita pahami bersama alasan mengapa pada akhirnya UU ITE harus direvisi. Proses diskursus dalam legislasi dan politik hukum yang terkandung di dalamnya telah memperlihatkan dan membuktikan bahwa UU yang diundangkan dengan proses yang tertutup dan tidak disertai dengan diskursus mendalam akan hanya memberikan kesengsaraan bagi masyarakat. Hal ini malah jadi bukti nyata bahwa hukum bukan untuk manusia, melainkan manusialah untuk hukum.
Kedepannya, desain politik hukum teknologi digital seharusnya lebih menyeluruh. Bukan sekedar revisi pasal, interpretasi pasal, melainkan Presiden dan DPR harus merevisi menyeluruh, evaluasi atas UU yang ada, UU Penyiaran dan UU Telekomunikasi, maupun menegaskan pengaturan yang lebih baik dalam rencana legislasi, misalnya RUU Perlindungan Data Pribadi dan RUU Keamanan Siber. Cara berpikirnya harus integral bukan parsial, karena selama ini revisi hanya berfokus pada perubahan yang sektoralisme. ()