Urgensi Pembaharuan Pengaturan Kompensasi dan Restitusi Selaku Perlindungan Hukum bagi Korban Tindak Pidana

Oleh : Trian Marfiansyah

(Internship Advokat Konstitusi) 

Dewasa ini, keberadaan korban dalam suatu tindak pidana masih belum mendapat perhatian banyak. Hukum Pidana lebih cenderung memberikan perhatiannya kepada pelaku tindak pidana dibanding sang korban. Korban yang terkena dampak dari pelaku harus mengalami kerugian baik secara fisik maupun psikis. Selaku hukum publik, korban pun diabstraksikan selaku kepentingan umum sehingga bila terjadi suatu tindak pidana dan pelakunya telah diadili maka permasalahan korban dianggap selesai dan telah mendapatkan perlindungan. Hal tersebut tentu menuai polemik mengingat kondisi suatu korban dianggap tidak sama lagi pasca kejadian yang menimpanya.

Seiring perkembangannya, pengaturan hukum pidana terhadap korban mengalami peningkatan. Munculnya pengaturan seperti UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme, dan UU No. 13 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK). Pengaturan yang disebutkan sebelumnya memiliki kesamaan ketentuan dengan menjunjung kompensasi dan restitusi selaku perlindungan korban. Restitusi menurut UU PSK didefinisikan sebagai ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Sedangkan kompensasi berarti ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya.

Perlu diperhatikan bahwa kompensasi menjadi sebuah kewajiban negara. Kewajiban negara untuk memberikan kompensasi didasarkan dari teori kegagalan untuk melindungi (Julie Goldscheid, 2004). Teori ini menyatakan bahwa seorang individu menjadi korban tindak pidana karena kegagalan negara untuk mengeliminasi atau mencegah suatu kejahatan. Hal ini bertujuan untuk memastikan adanya respon yang lebih efektif kepada korban dalam sistem peradilan pidana untuk memberikan rasa aman tersendiri bagi masyarakat dan memenuhi kewajiban negara dalam memenuhi hak warga negaranya. Hal demikian tentu berhubungan dengan munculnya restitusi. Restitusi muncul ketika gerakan terhadap hak-hak korban memunculkan stigma bahwa sistem peradilan pidana bersifat diskriminatif terhadap korban (Marcus Asner, 2013). Korban kejahatan seringkali diperlakukan secara tidak tepat dan diabaikan dalam sistem peradilan pidana yang seharusnya menyediakan dukungan, informasi dan asistensi. Adapun secara singkat restitusi bertujuan untuk mengganti kerugian korban, instrumen pencegahan bagi pelaku potensial, dan memaksa pelaku untuk mengakui segala kejahatan yang telah ia lakukan.

Di sisi lain, ketentuan mengenai hak korban hanya terdapat dalam Pasal 98 s.d. Pasal 101 KUHAP yang mengatur tentang penggabungan perkara ganti kerugian. Pasal 98 menyebutkan bahwa jika suatu perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu. Penggabungan perkara ini menyesuaikan dengan asas keseimbangan yang tidak hanya mementingkan terhadap hak pelaku namun juga perlindungan hak korban. Selain itu, tujuan penggabungan perkara ini adalah tercapainya asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya murah. Maka, korban dapat mengajukan gugatan tanpa melalui gugatan perdata biasa dan menunggu perkara pidananya selesai. Namun ganti kerugian hanya didasarkan atas kerugian materiil, pengajuannya paling lambat sebelum penuntutan, upaya hukumnya tergantung pada perkara pokok, dan apabila perkara pidananya tidak banding maka gugatan ganti kerugian juga tidak bisa banding. Jika korban ingin mendapatkan ganti kerugian penuh, maka tetap harus melalui proses pemeriksaan perdata karena penggabungan dalam perkara pidana hanya terbatas pada jumlah kerugian materiil yang dialaminya sebagaimana diatur dalam Pasal 99 ayat 2 KUHAP. Pasal tersebut sesungguhnya kontradiksi dengan isi Pasal 101 yang berbunyi, “ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian”. Sehingga, sudah seharusnya tidak perlu ada pembatasan terhadap jenis kerugian bila mengacu ketentuan hukum perdata sepanjang kerugian tersebut baik materiil maupun immateriil benar-benar sesuai dengan prinsip kausalitas sebagaimana diatur pada Pasal 1365 KUHPdt.

Dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Lalu, Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Namun, Kompensasi dan restitusi tidak dapat diberikan kepada korban jika tidak ada terdakwa yang diputus dengan pemidanaan dalam peristiwa pelanggaran HAM yang berat. Padahal banyak korban yang nyata-nyata telah mengalami kerugian dalam peristiwa pelanggaran HAM yang berat terutama di masa lalu (sebelum adanya UU a quo). Contoh peristiwa Tanjung Priok, tidak disertainya ketentuan restitusi dalam amar putusan sehingga korban tidak mendapatkan ganti kerugian apapun (Mahrus Ali, 2018). Padahal, peristiwa tersebut diputus selaku pelanggaran HAM berat dan korban mengalami kerugian yang sangat berat.

Lanjutnya, Pasal 38 UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjelaskan bahwa Pelaksanaan pemberian kompensasi atau restitusi dilaporkan oleh Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi dan restitusi. Dan putusan tersebut harus disertai dengan pemidanaan. Jika terdakwa tidak diputus dengan pemidanaan, kompensasi dan restitusi tidak dapat diberikan. Selain itu, proses pemenuhan kompensasi dan restitusi seharusnya cepat melainkan harus melewati proses permohonan dan birokrasi yang panjang. Seharusnya tidak perlu ada permohonan dari korban, cukup pengadilan memerintahkan melalui amar putusannya. Bahkan, dalam Pasal 7A UU PSK, segala bentuk ganti kerugian mengacu keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang tidak mengatur secara jelas indikator ganti kerugian yang dimaksud.

Beberapa kelemahan yang ada mencerminkan bahwa pengaturan kompensasi masih berparadigma KUHP. Hal ini tampak pada penyamaan mekanisme antara kompensasi dan restitusi meskipun kedua hak korban tersebut memiliki perbedaan landasan filosofis. Sudah seharusnya negara menciptakan birokrasi yang tidak rumit dan mengedepankan hak korban atas dampak yang ditimbulkan pelaku tindak pidana. Sehingga negara dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada negara selaku penegak hukum publik. Maka, diperlukannya perubahan regulasi untuk menciptakan pengaturan pidana yang mengedepankan prinsip restorative justice bukan prinsip yang mengacu pembalasan.

 

 

REFERENSI :

Ali, Mahrus & Ari Wibowo, “Kompensasi Dan Restitusi Yang Berorientasi Pada Korban Tindak Pidana”, Yuridika 33.2 (2018): 260-289.

Julie Goldscheid, “Crime Victim Compensation an a Post-9/11 World”, Tulane Law Review (2004): 167.

Marcus A Asner, “Restitution From the Victim Perspective-Recent Developments And Future Trends”, Federal Sentencing Reporter (2013): 26.

 

  ()