Tindakan Tembak Mati Kepolisian Terhadap Pelaku Penyerang Mabes Polri

Mario Agritama

(Internship Advokat Konstitusi)

Akhir- akhir ini Indonesia kembali dihebohkan atas aksi penyerangan yang dilakukan oleh terduga teroris di berbagai wilayah di Indonesia. Sebelumnya, pada hari Minggu 28 Maret 2021 telah terjadi aksi bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar. Setelah beberapa hari berselang, pada hari Rabu, 31 Maret 2021 sekitar pukul 16.30 WIB telah terjadi penyerangan di Mabes Polri yang dilakukan oleh seorang perempuan berkerudung biru dengan pakaian hitam.

Berdasarkan keterangan Kapolri Jenderal Pol Sigit Listyo Prabowo, sebelum melakukan penyerangan pelaku sempat menanyakan pada polisi yang berjaga, dimana letak kantor pos. Pasca diarahkan oleh petugas kepolisian saat itu, tak berselang lama, pelaku justru menuju ke pos penjagaan dan melakukan penembakan terhadap beberapa anggota polisi. Atas tindakannya tersebut, anggota kepolisian pun mengambil tindakan dengan menembak pelaku hingga dinyatakan tewas di lokasi kejadian (Guritno, 2021).

Pasca terjadinya penembakan tersebut, beberapa warga netizen pun bertanya- tanya apakah tindakan yang dilakukan oleh pihak kepolisian yang langsung melakukan tindakan tembak mati terhadap pelaku merupakan tindakan yang tepat?

Pada dasarnya penggunaan senjata api sangat sensitif dan selektif, tidak di setiap kondisi penanganan kejahatan personil kepolisian dapat menunjukkan, menodongkan bahkan meletuskan senjata api miliknya terhadap pelaku kejahatan. Penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan. 

Bagi anggota kepolisian senjata api memiliki fungsi untuk menjaga stabilitas dalam bidang pengamanan kepada masyarakat dengan tujuan untuk melindungi dari tindakan kejahatan. Akan tetapi, penggunaan fungsi senjata api juga harus mengikuti prosedur dan standarisasi agar tidak disalahgunakan oleh oknum kepolisian melihat banyaknya kasus yang terjadi akibat penyalahgunaan senjata api oleh personil kepolisian (Anggraini, 2021: 33).

Berdasarkan Pasal 47 Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan dalam hal penggunaan senjata api hanya dapat dipergunakan apabila benar- benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.

Lebih lanjut dalam perkapolri a quo, menyebutkan beberapa syarat dapat digunakannya senjata api bagi petugas kepolisian, yaitu dalam hal menghadapi keadaan luar biasa, untuk membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat, untuk membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat, mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang, menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa, dan menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.

Apabila melihat situasi dan kondisi yang terjadi di Mabes Polri, maka diketahui bahwa pelaku terlebih dahulu melakukan aksi penembakan terhadap personil kepolisian yang menyebabkan terancamnya nyawa personil kepolisian saat itu. Maka, berdasarkan perkapolri diatas tindakan yang dilakukan oleh personil kepolisian dengan melakukan penembakan terhadap pelaku merupakan hal yang sesuai dengan perkapolri.

Selain itu, merujuk pada ketentuan Pasal 49 KUHP tentang Pembelaan Darurat/ Terpaksa (noodweer) untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, yang disebabkan adanya serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat. Maka, berdasarkan ketentuan a quo, orang yang melakukan pembelaan darurat tidak dapat dijerat pidana. Pasal ini dikenal dengan alasan penghapus pidana atau alasan pembenar karena perbuatan pembelaan darurat, bukan perbuatan melawan hukum.

Pada kondisi ini korban yang akan melakukan tindakan pembelaan diri harus memenuhi beberapa syarat, yakni terpaksanya melakukan suatu perlawanan terhadap kepentingan- kepentingan tertentu, dimana perlu diawali dengan adanya serangan atau ancaman yang melawan hak dengan seketika itu juga. Sehingga diperlukan adanya keseimbangan ancaman serangan seperti jika korban akan diserang menggunakan senjata api seperti pistol, maka tidak ada jalan lain selain membunuh atau dibunuh.

Jadi, pada prinsipnya penggunaan senjata api oleh kepolisian hanya dapat digunakan pada kondisi dan keadaan yang dapat mengancam jiwa manusia. Hal ini juga sesuai dengan amanat Pasal 28G UUD 1945, dimana setiap orang sejatinya memiliki hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta dipenuhi akan rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi setiap warga negara. ()