Oleh: Haryana Hadiyanti
Wacana menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan adanya Pokok-Pokok Haluan Negara muncul ke permukaan. Hal ini bertujuan dalam rangka amandemen terbatas UUD NRI Tahun 1945 dengan menambahkan ayat dalam Pasal 3 dan Pasal 23 didalamnya. Tentu saja, keberadaan PPHN merupakan suatu urgensi dalam menentukan arah dan tujuan pembangunan nasional dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang.
Sebelumnya ada PPHN, haluan negara Indonesia menggunakan GBHN yang telah digunakan sejak zaman orde lama hingga reformasi. Pada zaman orde lama, GBHN disebut juga PNSB (Pembangunan Nasional Semesta Berencana) berdasarkan TAP MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Sebagai GBHN. Sampai dengan masa reformasi, GBHN tahun 1999 – 2004 yang ditetapkan oleh MPR dalam Sidang Umum majelis Permusyawaratan Rakyat 1999, harus menjadi arah penyelenggaraan negara bagi lembaga negara dalam mewujudkan pembangunan nasional.
Mengingat kembali keberadaan GBHN yang telah dihapuskan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, MPR tetap menetapkan TAP MPR yang dimana GBHN merupakan dokumen perencanaan pembangunan nasional, walaupun tidak lagi menjadi kewenangannya untuk menyusunnya. Pengganti GBHN adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional hasil perubahan dari UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Konsep haluan negara yang diadopsi saat ini memunculkan problematika yaitu rencana pembangunan jangka menengah nasional didasarkan pada visi, misi, dan program Presiden. Akan tetapi, terdapat ketidakselarasan dimana GBHN lebih konsisten dengan tidak pengaruhnya dengan adanya visi misi Presiden dalam era tertentu. Hal ini menimbulkan perdebatan para ahli hukum dan ahli politik. Lalu, bagaimana solusinya?
Keberadaan PPHN sangat memegang peran penting dalam pembangunan nasional. Walaupun masih dalam perdebatan, memuat beberapa alasan yang mendasar dalam pembentukan PPHN. Pertama, Haluan negara memiliki kedudukan yang strategis dan fundamental. PPHN merupakan nomenklatur yang terdapat dalam Keputusan MPR RI Nomor 8 Tahun 2019 tentang Rekomendasi MPR RI Masa Jabatan 2014-2019. Berisikan tentang kebijakan strategis yang dilandasi nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD NRI 1945, PPHN dapat dijadikan rujukan bagi perencanaan, penyusunan, keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan pembangunan pemerintah.
Haluan negara besifat memandu, membimbing, maupun mengarahkan fungsi penyelenggaraan negara untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan bersifat fundamental, instrumental, maupun operasional. Kedua, pengaturan haluan negara dalam bentuk hukum yang derajat dan mengikat lebih kuat. Penuangannya dalam bentuk hukum yang berpuncak konstitusi akan meninggikan derajat dan mengikat lebih kuat. Ketiga, RPJPN sangat eksekutif sentris.
Bentuk hukum PPHN terdapat tiga jenis, yaitu dalam bentuk UUD NRI 1945, TAP MPR, dan Undang-Undang. MPR yang hakikatnya merupakan penjelmaan rakyat memiliki posisi vital dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia, terlebih dalam pilihan terhadap dasar dan kebijakan yang akan digunakan oleh penyelenggara negara. Dengan amandemen terbatas, kewenangan MPR untuk menetapkan haluan negara perlu ditambahkan dalam klausul Pasal 3 UUD NRI 1945. Selain itu, perlu adanya amandemen kelima dengan menambahkan BAB dalam UUD NRI 1945 membahas PPHN secara khusus. Dengan hal ini, kekuatan mengikat PPHN jauh lebih kuat dan menyelaraskan dengan posisi konstitusi yang memuat norma hukum tetapi tidak mengurangi kekuatannya secara hierarki. Akhirnya, PPHN yang mengandung directive principle of state policy (DPSP) yang diadopsi dari Irlandia didalam konstitusi akan menjadi relevan untuk pembangunan nasional yang terarah dan terencana.
Kedua, kewenangan MPR dalam menetapkan TAP MPR perlu dikembalikan dengan catatan khusus tentang PPHN. Hal ini dapat dilakukan dengan cara ketetapan MPR dalam hirarki perundang-undang Indonesia tetap diakui sebagai salah satu sumber hukum dan lahirnya pertanggungjawaban Presiden terhadap PPHN yang diatur MPR secara kelembagaan. Terakhir, bentuk hukum dalam menetapkan Undang-undang akan kurang efektif karena bersifat dinamis dan terjadinya indemokratisasi pembentukan UU dalam pranata perwakilan di kemudian hari. ()