Oleh : Maharani Prima
(Internship Advokat Konstitusi)
Berbicara mengenai Investasi khusus nya di Indonesia sebuah regulasi berupa peraturan perundang – undangan merupakan sebuah unsur yang krusial dari segi perlindungan secara hukum baik untuk pihak pemodal atau investor, maupun untuk pihak emiten. Disamping itu implikasi dari sebuah regulasi yang tepat dapat dikonstruksikan sebagai bentuk pelayanan yang baik oleh aparat yang terkait, dan diharapkan mampu membenahi penegakan hukum yang kurang baik dalam suatu negara.Di Indonesia sendiri, terkait dengan pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi investor dan emiten telah, dan juga mengenai simplifikasi perizinan didalam investasi yang akan saya bahas selanjutnya.
Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.Namun seiring dengan perkembangan berbagai jenis usaha dan keberagaman kebutuhan masyarakat dalam berinvestasi maka diperlukan adanya suatu produk hukum baru untuk membantu regulasi di dalam bidang investasi di Indonesia.
Pada tanggal 02 November 2020 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan Undang – Undang Omnibus Law resmi disahkan dan diundangkan di Paripurna DPR, dan jika kita menelaah kepada tujuan dan fungsi utama yang ingin dicapai oleh Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (yang selanjutnya disebut “UUCK”) adalah peningkatan ekosistem investasi, percepatan proyek strategis nasional, dan memaksimalkan kegiatan di segala sektor usaha melalui beberapa langkah, yaitu penyederhanaan persyaratan dasar perizinan usaha, pengadaan tanah dan pemanfaatan lahan, penerapan perizinan usaha berbasis resiko, dan penyederhanaan persyaratan investasi.Berbagai ketentuan dari regulasi yang lama pun disesuaikan dengan beberapa kebijakan yang baru, dengan salah satu harapannya dapat mewujudkan peningkatan ekosistem dalam segi investasi, yaitu kebijakan mengenai perizinan usaha yang menggunakan sistem Risk Based Approach (RBA), yang dimana penerapan perizinan usahanya berbasis resiko.Dalam pasal 7 ayat (1) UUCK bagian kedua mengenai Penerapan Perizinan Berbasis Resiko dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Perizinan Berusaha Berbasis Risiko” adalah pemberian Perizinan Berusaha dan pelaksanaan pengawasan berdasarkan tingkat risiko usaha dan/atau kegiatan usaha, lalu didalam pasal 7 ayat (2) UUCK dijelaskan bahwa penetapan tingkat risiko diperoleh berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya.
Mengenai penyederhanaan atau simplifikasi persyaratan dasar perizinan berusaha, pengadaan tanah, dan pemanfaatan lahan yang meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, dan persetujuan bangunan gedung serta sertifikat laik fungsi. Pelaku usaha perlu melaporkan rencana lokasi menggunakan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) berbentuk digital dan kemudian diolah oleh pemerintah dan wajib mengintegrasikan RDTR ke dalam sistem perizinan berusaha secara elektronik, hal ini diatur dalam Pasal 14 ayat 6 UUCK. Selanjutnya, pengaturan mengenai pengadaan tanah, untuk kepentingan umum dan prioritas pemerintah akan dilakukan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan untuk instansi pemerintah dan pelepasan kawasan hutan atau pinjam pakai kawasan hutan untuk swasta “Pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui kedua belah pihak,” jelas Pasal 36 ayat 1 UUCK.
Pertanyaan mendasar yang perlu diperhatikan adalah apakah sistem perhitungan risiko dalam UUCK jika diterapkan di Indonesia akan membantu dalam percepatan perizinan investasi, atau justru akan membuat rumit di dalam pelaksanaan Online Single Submission (OSS) nya kelak? Menurut saya Risk-Based Approach (RBA) memerlukan dukungan basis data yang integratif, menyeluruh, dan akurat, sedangkan database di Indonesia dinilai lemah, mengapa? Karena RBA juga perlu didukung oleh Keterangan Rencana Peruntukan (KRP), dan di dalam mengaplikasikan RBA membutuhkan KRP yang memiliki proyeksi atas risiko di masa mendatang. Jika dibandingkan dengan beberapa negara yang tergabung dalam The Organisation for Economic Co-operation and Development, yang selanjutnya disebut “OECD” yang telah menerapkan sistem perhitungan risiko (RBA), dapat dilihat dari segi sudut pandang atau perspektif yang jelas sangat berbeda, di negara OECD tidak ada sektor informal. UMKM di negara OECD adalah sektor formal, di negara OECD usaha yang berkaitan langsung dengan masyarakat diatur dengan ketat, contoh: kafe, restoran, dan sebagainya, sedangkan di Indonesia keberadaan sektor informal sangat besar dalam faktor perekonomian, dan juga belum adanya pengaturan perizinan yang terperinci terkait dengan sektor informalnya.
Kesimpulannya adalah simplifikasi di dalam perizinan berusaha dan penyederhanaan persyaratan dasar perizinan usaha dan kebijakan baru lainnya dinilai tidak cocok diterapkan di Indonesia dan dikhawatirkan tidak akan berjalan efektif apabila dipaksakan, karena kondisi ketersediaan data yang terbatas di Indonesia akan berpengaruh dan membantu dalam percepatan perizinan investasi, perlu diingat juga bahwa belum pernah ada lembaga yang berkewenangan secara jelas mengatur risiko secara menyeluruh di Indonesia, dan memang pada hakikatnya menerapkan suatu konsep yang belum dipahami secara utuh, menyeluruh, dan seksama akan menimbulkan potensi legal-abuse yang sangat besar, saya berharap kedepannya Indonesia dapat menerapkan sebuah regulasi yang memang sesuai dengan sektor formal dan informal terkait dengan lajur kondisi investasi di Indonesia. ()