Titik Terang Kebebasan Berekspresi yang Dilindungi Surat Edaran Kapolri

Oleh: Theresia Pawestri Ayuningtias

(Internship Advokat Konstitusi)

            Kebebasan berpikir dan berpendapat berupa kebebasan berbicara di muka umum dan bebas menulis serta menyebarluaskan tulisan, merupakan penerapan demokrasi dalam kehidupan bernegara (Wulandari, 2015). Kebebasan ini dilindungi oleh beberapa dasar hukum, diantaranya UU No 39/1999 tentang Undang-undang Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU No 19/2016 atas perubahan UU No 11/2008 tentang Undang-undang Informasi dan Teknologi Elektronik (UU ITE). Kritikan masyarakat untuk melakukan Revisi UU ITE disebabkan oleh terciptanya batasan antara kebebasan berekspresi dengan UU ITE yang menimbulkan jebakan dari peraturan di dalamnya. Batasan tersebut jelas menciptakan kecemasan bagi warga net dalam memberikan kritikan yang dihantui kerancuan pasal-pasal karet dalam UU ITE.  Keadaan ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang harus segera ditangani.

Surat Edaran UU ITE bernomor SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif dikeluarkan oleh Kapolri Jenderal Pol Sityo Sigit Prabowo sebagai langkah mengatasi kericuhan dari pasal-pasal karet dalam UU ITE. Surat edaran tersebut terdiri dari 11 poin penting yang dapat mengatasi ketidakadilan akibat UU ITE, apabila dilaksanakan secara berkesinambungan antara penegak hukum dan masyarakat. 11 poin tersebut secara garis besar berisi tentang, sifat dinamis yang terbuka akan perkembangan penggunaan media sosial, etika di media sosial, menggunakan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert, penyidik harus membedakan kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik, kepekaan penyidik dalam penyidikan, mengedepankan restorative justice atau dapat dikatakan sebagai mediasi. Dihitung sejak Kamis (25/05/21), virtual police sebagai kebijakan baru bedasarkan surat edaran tersebut mulai dijalankan. Tugasnya ialah memberikan teguran secara virtual terhadap suatu tulisan di media sosial berpotensi melanggar ketentuan hukum pidana atau UU ITE. Dengan adanya kebijakan baru ini, jelas mengurangi keberadaan interprestasi sepihak terhadap ketentuan undang-undang karena dengan adanya edukasi lebih dulu akan menyadarkan para warga net untuk mengetahui apa yang ia lakukan sudah tepat atau tidak. Apabila teguran atau edukasi yang sudah disampaikan tidak dijalankan dengan baik, barulah pihak yang melakukan kesalahan di media sosial akan ditindaklanjuti sesuai dengan hukum yang berlaku.