Oleh: Trian Marfiansyah
(Internship Advokat Konstitusi )
Pengaturan mengenai Justice Collaborator telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK). Namun dalam undang-undang tersebut tidak diatur secara eksplisit yang menyebutkan istilah “Justice Collaborator”. Melainkan menggunakan kata “saksi yang juga tersangka” yang terdapat dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006.
Perlakuan terhadap Justice Collaborator ini merupakan bentuk apresiasi terhadap upaya masyarakat tertentu yang mau bekerjasama untuk mengungkap kejahatan, sehingga dapat diperoleh bukti-bukti yang akurat dan berujung pada penjatuhan sanksi bagi pelaku tindak pidana. Namun, hal ini dianggap agak berlebihan apabila memperhatikan prinsip equality before the law yang pada dasarnya semua warga negara mempunyai kedudukan sama di mata hukum. Hal ini dijustifikasi dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Dengan kata lain, konsep Justice Collaborator dapat bertolak belakang dengan ketentuan tersebut.
Albert Van Dicey menjelaskan bahwa equality before the law merupakan kesamaan bagi kedudukan hukum didepan hukum untuk semua warga negara, baik selaku pribadi maupun statusnya sebagai pejabat negara (Thaib, 1999). Artinya tidak ada perlakuan diskriminatif dalam menjalankan atau menegakkan hukum terhadap seseorang. Prinsip ini juga dipengaruhi dari konsep negara hukum yang dianut oleh berbagai negara di dunia termasuk Indonesia untuk mencegah ketidakadilan dan penyelewengan dari penguasa.
Akan tetapi, jasa dari Justice Collaborator merupakan hal yang cukup berperan dalam mengungkap kejahatan yang sulit dipecahkan oleh aparat hukum seperti perkara korupsi, narkotika, terorisme, dll. Perkara dari Indonesia seperti “mega korupsi” KTP Elektronik dimana tiga terdakwa perkara tersebut menjadi Justice Collaborator. Pertama terdapat mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Sugiharto, mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman, dan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong (Tempo, diakses pada tanggal 25 Maret 2021). Sehingga, tidak ada salahnya menerapkan konsepsi tersebut dalam rangka pelancaran penangkapan kejahatan yang sedang terjadi di Indonesia. Maka berikutnya, penulis ingin mengangkat konsepsi ini dengan pendekatan konseptual bagaimana implikasi yuridis bagi masyarakat agar menjadi sebuah edukasi hukum bagi para pembaca.
Konsep Justice Collaborator dalam Hukum Acara Pidana
Perlu diperhatikan bahwa Justice Collaborator memiliki regulasi khusus yang mengakibatkan perlindungan khusus kepada yang bersangkutan. Mulai dari perlindungan khusus, pengurangan hukuman, perlindungan fisik, pemberian fasilitas, hingga imunitas akan segala tuntutan. Namun, hal ini berbeda halnya dengan saksi mahkota karena adanya regulasi khusus yang mengatur tentang Justice Collaborator. Konsep ini diatur dalam Pasal 41 ayat (2) huruf e UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa “masyarakat yang berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi berhak mendapat perlindungan hukum, dalam hal diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Selain itu, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menyebutkan “Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi”. Dan Mahkamah Agung telah mengeluarkan pengaturan terkait mengenai Justice Collaborator dalam Surat Edaran Nomor 04 Tahun 2014 tentang Perlakukan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) (Irin, 2021). Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Pemberian perlakuan khusus terhadap Justice Collaborator dalam proses peradilan, dilakukan dalam bentuk memberikan hukuman percobaan, atau menjatuhkan hukuman lebih ringan dari pada pelaku tindak pidana lainnya. Karena mengingat pengaturan dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 hanya memberikan batasan terhadap upaya peringanan hukuman bagi Justice Collaborator (Esti Kanti, 2020).
Implikasi Hukum dari Pengaturan Justice Collaborator terhadap Hukum Acara Pidana
Kekhawatiran hukum mengenai keadilan dan regulasi yang responsif merupakan suatu dugaan bahwa pendekatan fleksibel yang dilakukan berpotensi menghasilkan paradigma baru dengan “merusak” kesetaraan seseorang di hadapan hukum. Dan hal itu dapat diwujudkan apabila seorang Justice Collaborator dapat bersifat kooperatif. Apabila tidak, maka hukuman panjang akan menantinya.
Pada pandangan negara hukum menekankan pada tiga catatan pokok yaitu, supremasi hukum (supremacy of law), persamaan di hadapan hukum (equality before the law), dan konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution based on individual rights). Prinsip persamaan (equality before the law) sebagai salah satu pokok negara hukum selain supremasi atau kekuasaan tertinggi hukum dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menegakkan keadilan di mana persamaan kedudukan dapat diartikan bahwa hukum tidak membedakan antara siapa pun. Sehingga asas ini dihadirkan untuk mencegah terjadinya diskriminasi dalam tatanan hukum suatu negara.
Maka, hal ini melahirkan hadirnya Hukum Acara Pidana sebagai cara mencari dan mendapatkan kebenaran materiil suatu peristiwa dengan menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan unsur keadilan. Proses pencarian kebenaran tersebut didasarkan serta menjunjung tinggi bahwa semua pelanggar hukum diperlakukan secara sama di hadapan hukum. Sehingga, kedudukan Justice Collaborator dalam Hukum Acara Pidana khususnya di Indonesia yang dikuatkan dengan adanya asas lex specialis derogat legi generalis, membuka peluang bagi para “penjahat” dalam melakukan “pertaubatan” atas kejahatan telah dilakukannya.
Kriteria Justice Collaborator tetap harus memenuhi ketentuan dalam KUHP. Ketentuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:Pertama, Orang yang melakukan sendiri tindak pidana (pleger), adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik yaitu Orang yang bertanggung jawab;Kedua, Orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana (doen pleger), dalam bentuk menganjurkan terdapat pelakunya paling sedikit ada dua orang atau lebih dan kedudukannya masing-masing terdapat dua pihak yaitu, sebagai pihak yang menganjurkan dan pihak yang melakukan anjuran;Ketiga, Orang yang turut melakukan tindak pidana (medepleger). Harus memenuhi unsur kerjasama secara fisik, dan harus ada kesadaran bahwa para pelaku antara satu sama lain bekerja sama untuk melakukan tindak pidana.
Contoh kasus yang mengimplementasikan konsep tersebut adalah kasus korupsi e-KTP. Hakim Ketua Jhon Halasan Butar-Butar mengabulkan permohonan Irman dan Sugiharto. Terdakwa lainnya, Andi Narogong juga mengajukan permohonan serupa dan dikabulkan oleh KPK. Dalam Persidangan, para Justice Collaborator membeberkan peran Ketua DPR Setya Novanto dan mantan bos PT. Gunung Agung Made Oka Masagung dalam korupsi proyek e-KTP. Mekeka mnuturkan keduanya berperan dalam pemberian sejumlah uang yang mengalir ke anggota Dewan. Sehingga, mereka mendapatkan keringanan hukuman dari sang hakim (Tempo, diakses pada tanggal 25 Maret 2021).
Penulis mengatakan bahwa keistimewaan dan penjatuhan pidana bagi seorang Justice Collaborator akan mendapat hukuman lebih ringan namun tetap menyesuaikan unsur-unsur delik pidana oleh yang bersangkutan. Hal ini dapat memicu diskriminasi kepada para Justice Collaborator yang menyimpang dari pinrsip equality before the law. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa konsepsi masih diperlukan mengingat meningkatnya kejahatan terutama kejahatan extraordinary yang memerlukan bantuan dari segala pihak agar menjunjung kewajiban negara untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan bagi warganya. Maka, kedepannya diperlukan profesionalisme dari para aparat hukum untuk melakukan konsep ini tetap berdasarkan UU PSK dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya bukan menggap konsep ini sebagai bentuk tawar menawar antara mereka dengan pelaku. ()