NEGARA MERAMPAS ASET DARI TINDAK PIDANA PENIPUAN APLIKASI BINOMO

Oleh: Tia Tasia Zein

Kronologi Kasus
Kabar terbaru dari kasus yang menimpa Indra Kenz sebagai affiliator aplikasi binomo, investasi bodong yang tidak memiliki izin dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Pada 15 November 2022, Hakim membacakan putusannya dan memvonis 10 tahun penjara serta membayar denda sebesar Rp 5 miliar yang bila tidak dibayar akan diganti dengan pidana penjara selama 10 bulan.
Majelis hakim juga menyatakan bahwa barang bukti hasil tindak pidana dalam kasus ini dirampas untuk negara. Hakim tidak sependapat dengan tuntutan jaksa yang meminta barang bukti dikembalikan kepada saksi korban melalui paguyuban Trader Indonesia Bersatu. Alasannya karena aset yang disita merupakan hasil judi dan para trader merupakan pemain judi yang berkedok trading Binomo. Penyitaan dilakukan sebagai pembelajaran untuk semua pihak agar tidak terlibat dalam perjudian yang meresahkan masyarakat dan melanggar Pasal 303 KUHP.

Jika demikian, berapa banyak aset yang telah disita sebagai barang bukti hasil tindak pidana dalam kasus ini ?

Barang Bukti Berupa Aset Yang Dirampas Negara
Akibat perbuatan Indra Kenz, para trader Binomo mengalami kerugian sebesar Rp 83.365.707.894. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga memblokir rekeningnya senilai Rp 1,8 miliar. Berikut aset-aset yang disita oleh Bareskrim:
1. Beberapa barang bukti antara lain satu dokumen bukti setor dan tarif berikut rekening koran korban
2. Akun YouTube dan GMail tersangka
3. Video konten YouTube
4. Satu unit handphone
5. Satu unit kendaraan Tesla
6. Satu unit kendaraan Ferrari
7. Dua bidang tanah bangunan di Deli Serdang, Sumatera Utara
8. Satu unit rumah di Medan Timur

Penggolongan barang-barang yang dapat dirampas telah sesuai dengan Pasal 39 KUHP dan total aset yang disita mencapai Rp 57,2 miliar akan menjadi aset negara. Jika aset yang dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan tidak diberikan kembali kepada korban penipuan tetapi dirampas menjadi aset negara maka tidak akan mencerminkan keadilan dan merugikan hak konstitusional korban.

Bagaimana perlindungan hukum kepada korban atas kerugian tersebut? Adakah regulasi di Indonesia yang memungkinkan aset terdakwa dikembalikan kepada korban?

Terhadap penyitaan aset yang dijadikan barang bukti terdapat dalam Pasal 46 KUHAP yang menyebutkan bahwa ;
“(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c. perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.”

Jelas dikatakan dalam Pasal ini, barang bukti akan dikembalikan kepada mereka yang paling berhak dalam kasus ini adalah korban tindak pidana penipuan tersebut. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan perampasan terhadap barang bukti atas dasar putusan hakim dan tidak seharusnya aset terdakwa dirampas menjadi aset negara karena negara tidak dirugikan atas penipuan dan/atau pencucian uang tersebut. Atas dasar perampasan atau penyitaan aset yang dijadikan barang bukti memiliki regulasi untuk menempuh jalur hukumnya.

Upaya hukum yang dapat dilakukan korban untuk mengembalikan aset yang menjadi haknya adalah dengan cara mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah mengajukan penetapan perampasan dalam waktu 30 hari sejak tanggal pengumuman yang diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya. Upaya hukum ini diatur dalam Pasal 79 UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ayat (3), (4), (5), dan (6) menjadi perlindungan hukum dan kepastian hukum para korban.

KESIMPULAN PENULIS
Jika aset korban dikembalikan oleh negara dan tidak dilakukan perampasan terhadap aset tersebut, korban akan merasa mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum oleh negara. Kedepannya akan banyak masyarakat yang berkeinginan kuat untuk bekerja sama dalam penanggulangan pemberantasan tindak pidana pencucian uang karena hak-hak korban dilindungi.

Namun, apabila aset korban tidak dikembalikan oleh negara maka rakyat akan merasa dirugikan dan tidak mendapatkan perlindungan hukum untuk mendapatkan hak yang sudah seharusnya menjadi miliknya. Hal ini dapat membuat masyarakat kedepannya akan lebih memilih untuk tidak melaporkan kejadian yang serupa karena tetap tidak mendapatkan hak yang memang miliknya namun dirampas menjadi aset negara. ()